Pasek: Kewenangan KPK soal TPPU masih kontroversi



JAKARTA. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Gede Pasek Suardika mempertanyakan alasan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan pimpinannya di PPI, Anas Urbaningrum, sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut Pasek, penetapan status TPPU itu janggal karena ditetapkan sebelum adanya pidana asal untuk Anas.

Pasek menuturkan, seharusnya KPK menginformasikan kepada publik apa yang menjadi pidana asal untuk Anas sehingga ditetapkan sebagai tersangka TPPU. Hal itu sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang KPK.

"Sebab, TPPU bukan jenis pidana berdiri sendiri. TPPU harus memiliki pidana asalnya," kata Pasek, seperti dikutip dalam akun Twitter-nya, Jumat (7/3/2014).


Politisi Partai Demokrat itu melanjutkan, penetapan Anas sebagai tersangka kasus TPPU dapat diterima jika ada kepastian mengenai pidana asal yang menjeratnya. Entah itu kasus gratifikasi Harrier, aliran dana Hambalang ke Kongres Partai Demokrat, kasus Bio Farma, kasus Rumah Sakit Universitas Airlangga, atau kasus lainnya.

"Ini penting karena kewenangan yang dimiliki KPK soal TPPU masih kontroversial serta kasus nyata yang jadikan Anas Urbaningrum tersangka juga masih tidak jelas. Apakah bisa kasus pidana awal belum jelas sudah melompat ke TPPU?" ujarnya.

Untuk memperjelas semuanya, kata Pasek, KPK harus segera mengumumkan pidana asal yang membuat Anas dijadikan tersangka TPPU. Jika tak ada penjelasan, Pasek yakin akan muncul anggapan bahwa KPK bekerja bukan untuk keadilan, melainkan hanya sebagai alat penerjemah konflik politik semata.

"Bantahlah kesan tersebut dengan bersikap fair dan terbuka. Tidak usah bersilat lidah," tandasnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Anas sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. Ini merupakan hasil pengembangan dari penyidikan kasus proyek pembangunan sarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dengan Anas sebagai salah satu tersangka penerima gratifikasi.

Pada 23 Februari 2013, KPK menetapkan Anas sebagai tersangka tindak pidana korupsi, yaitu ketika menjadi anggota DPR diduga menerima gratifikasi terkait proyek pembangunan sarana olahraga di Hambalang.

Pada 10 Januari 2014, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu kemudian ditahan sebagai tersangka korupsi kasus Hambalang dan beberapa kasus lain. Kini, status Anas bertambah lagi, yaitu sebagai tersangka TPPU.

Dalam TPPU, Anas disangka melanggar Pasal 3 dan/atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan/atau Pasal 3 Ayat (1) dan/atau Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang TPPUjuncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Pelanggaran itu terkait upaya memindahkan, menyamarkan, atau mengubah bentuk dari yang diduga diperoleh lewat tindak pidana korupsi. Unsur-unsur itu nanti diungkapkan di pengadilan.

Dengan tambahan sangkaan ini, tuntutan hukuman terhadap Anas akan menjadi lebih berat. Saat ini penyidik KPK melacak aset-aset Anas yang diduga diperoleh secara tidak halal. Sampai sekarang belum ada informasi tentang penyitaan atau pemblokiran aset-aset tersebut. (Indra Akuntono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan