Pasokan bahan baku kertas tinggal sebulan



JAKARTA. Pelaku industri kertas nasional berharap proses verifikasi impor bahan baku kertas bekas (waste paper) di pelabuhan bisa cepat terselesaikan. Proses ini membuat pasokan kertas bekas yang dibutuhkan industri kertas kemasan dan koran jadi terlambat. Saat ini, pasokan kertas bekas yang tersedia hanya cukup untuk produksi satu bulan ke depan.

Vice Chairman Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Hendra Gunawan mengatakan tertahannya bahan baku kertas bekas impor sudah terjadi sejak Juli lalu. Lantaran kertas bekas kini masuk dalam klasifikasi limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) sehingga harus dilakukan pengecekkan secara fisik. "Padahal kami sudah impor kertas bekas selama 30 tahun baru sekarang bermasalah. Limbah B3 nya sebelah mana?" katanya kemarin.

Saban tahun, sebanyak 19 industri kertas kemasan dan kertas koran di Indonesia membutuhkan kertas bekas sebanyak 6 juta ton. Sekitar 60% berasal dari impor, sisanya dari domestik.


Melihat pasokan kertas bekas impor yang masih terkendala, industri kertas nasional harus memaksimalkan pasokan kertas bekas dari dalam negeri. Meski berarti ada potensi penurunan produksi kertas kemasan maupun kertas koran. "Berarti ada potensi penurunan produksi kertas kemasan dan koran sebanyak 60%," ucapnya.

Kondisi ini jelas membuka peluang impor kertas kemasan dan kertas koran masuk pasar Indonesia. Padahal sebelum terkendala pasokan bahan baku, sebanyak 5 juta ton produksi kertas kemasan maupun kertas koran dari industri kertas lokal bisa memenuhi kebutuhan pasar lokal serta ekspor.

Nah, keinginan kalangan industri untuk turut serta menyuarakan pendapat soal ketentuan limbah B3 sepertinya nihil. Pemerintah, menurut Hendra, tidak menyertakan kalangan industri dalam pembahasan RPP limbah B3.

Sehingga ia pesimistis aturan ini akan memberikan angin segar bagi industri yang memerlukan bahan baku impor. "Selain kertas, industri lain juga mendapat masalah seperti kimia dan baja," ujar dia.

Bagi industri baja, aturan limbah B3 dinilai sangat merepotkan. Masih belum jelasnya klasifikasi limbah secara umum, membuat produk sampingan hasil peleburan baja dikategorikan limbah.

Seperti soal kasus tertahannya kontainer berisi impor besi bekas atau scrap di pelabuhan. Imbasnya, produksi baja nasional tahun ini diprediksi bisa turun 30%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon