JAKARTA. Kebutuhan baja lapis alumunium di Indonesia tahun ini diperkirakan sebesar 1,3 juta ton. Namun, mayoritas pasokan masih didapat dari impor. Direktur Pelaksana asosiasi Indonesia Zinc Aluminium Steel Industries (IZASI) Rhea Sianipar mengatakan, hampir 70% kebutuhan domestik dipenuhi dari impor. “Saat ini produsen lokal baru bisa memenuhi 30% dari total kebutuhan,” katanya, Rabu (1/2). Padahal, kebutuhan di dalam negeri, menurut Rhea, bisa meningkat 5% tiap tahun.
Saat ini, hanya ada tiga produsen dalam negeri yang memproduksi baja lapis alumunium, yaitu PT BlueScope Indonesia, PT Sunrise Steel dan PT Saranacentral Bajatama Tbk. BlueScope Indonesia tercatat memiliki kapasitas produksi sebesar 250.000 ton per tahun. Sementara, Sunrise Steel memiliki kapasitas produksi baja lapis alumunium sebesar 120.000 ton. Lalu, Saranacentral Bajatama hanya memproduksi 37.000 ton baja lapis alumunium pada tahun lalu. Melihat kebutuhan pasar Indonesia yang besar akan baja lapis alumunium, Rhea menyebut, ini kesempatan untuk meningkatkan bisnis. Namun, saat ini, ada banyak faktor yang perlu di pertimbangkan untuk bisa meningkatkan produksi. “Salah satunya bahan baku, yaitu CRC yang saat ini dari sisi harga tidak membantu untuk bisa bersaing dengan produk impor,” ujar Rhea. Selain itu, lanjut Rea, perlu dipastikan produk impor yang masuk harus memenuhi standard SNI dan tidak
dumping, sebab dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Presiden Direktur PT Sunrise Steel Henry Setiawan mengatakan, pihaknya tengah ancang-ancang meningkatkan produksi pada 2018 mendatang dengan menambah utilitas pabrik. “Akhir semester I 2018 kita akan tambah kapasitas produksi sebanyak 400.000 ton per tahun,” urai Henry. Sunrise menyiapkan investasi US$ 50 juta untuk penambahan produksi tersebut. “Targetnya setelah pabrik bertambah kapasitasnya,
market share baja lapis kami bisa 15%," kata Henry.
Henry menyebut, kendala produksi baja lapis terkait dengan harga gas yang dinilai masih berat. Sekitar 15%-20% utilisasi energi berasal dari gas. Sementara itu harga bahan baku, yakni CRC semakin melambung. Hampir 50% kebutuhan CRC berasal dari impor. “Sementara bahan baku yang didapati dari dalam negeri kurang dari 50%,” ungkapnya. Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk Handaja Susanto menyebut, terjadi penurunan produksi baja lapis alumunium pada 2016. Jika tahun 2015 menghasilkan 50.000 ton, namun turun pada 2016 menjadi hanya 37.000 ton. Menurut Handaja, persoalan bahan baku yang mahal, produk impor, serta masalah
dumping menyebabkan turunnya produksi. “Tapi pada tahun ini, kami optimis dan menargetkan produksi sebanyak 60.000 ton,” ujarnya. Optimisme ini dipicu pertumbuhan ekonomi dan janji pemerintah untuk memperketat masalah impor produk baja lapis alumunium. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini