JAKARTA. Masih belum ada sinyal positif kalau petani bisa memenuhi target pemerintah untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Buktinya, Angka Ramalan II (Aram II) justru menunjukkan target produksi tahun ini bakal meleset 47,5%. Menurut data Badan Pusat Statistik(BPS) per Juli 2011, Aram II menyatakan produksi kedelai tahun ini hanya mencapai 819.000 ton, padahal target yang dipatok pemerintah 1,56 juta ton. Angka itu bahkan lebih rendah ketimbang produksi tahun 2010, yang sebesar 907.030 ton. Penurunan produksi terjadi akibat lahan pertanian kedelai menyusut 10%, yakni dari 660.823 hektare (ha) menjadi 592.034 ha. Ironisnya, pemerintah telah menargetkan lahan budidaya kedelai bisa mencapai 1,04 juta ha.
Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementerian Pertanian(Kemtan) Rahman Pinem menjelaskan, petani lebih memilih menanam padi daripada kedelai saat musim hujan. Sebenarnya, kata dia, tingkat produksi kedelai lokal bisa lebih tinggi dari kedelai impor. "Usia tanaman kita juga cuma 3 bulan, sementara di negara lain 6 bulan," tuturnya dalam Lokakarya “Mencari Solusi Permasalahan Industri Pangan Berbasis Kedelai” di Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis(21/7). Ia mengungkapkan, beberapa lahan percontohan menghasilkan panenan dua ton per ha. Ini melampaui rata-rata tingkat produksi nasional sebesar 1,384 ton per ha. Tapi apa mau dikata, produksi lokal tetap tidak mencukupi. Hingga kini, para perajin tahu dan tempe tetap bergantung pada kedelai impor. Soalnya, kebutuhan kedelai Indonesia rata-rata hanya 2,5 juta ton per tahun. Jika produksi tahun ini cuma 819.000 ton, artinya kekurangannya harus dipenuhi dari impor. Impor lebih murah Di kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Suswono menyalahkan harga kedelai yang kurang menarik sebagai penyebab para petani di tanah air enggan menanam kedelai. Tak heran, para produsen tahu dan tempe lebih memilih kedelai impor. “Rantai distribusi yang terlalu panjang membuat harga terlalu tinggi, sementara kedelai impor tinggal ambil di Cakung sana," keluhnya. Sudarno, salah seorang produsen tahu asal Tangerang mengaku lebih banyak menggunakan kedelai impor yang lebih murah karena mendapat subsidi. Selain itu, ketersediaan pasokan kedelai impor juga lebih pasti.
Kedelai lokal dijual dengan harga Rp 7.500 per kg, sementara kedelai impor sekitar Rp 6.000 per kg. "Sebenarnya Rp 7.500 per kg masih bisa kami jangkau. Masalahnya hari ini mereka bisa pasok 1 ton, besok belum tentu ada,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Perajin Tahu Indonesia (Hipertindo) Johanda Fadil. Padahal, kualitas kedelai impor menurun akibat lamanya pengiriman. Walau kedelai impor lebih besar daripada kedelai lokal, santan yang dihasilkan pun lebih sedikit. “10 kg kedelai lokal kualitas C saja bisa menghasilkan 8 sampai 9 papan tahu, sementara kedelai impor kualitas C cuma menghasilkan 6 sampai 7 papan tahu,” ungkapnya. Hipertindo menghitung para perajin tahu tahun ini membutuhkan 2,518 ton kedelai per bulan. Untuk memenuhinya, mereka bisa membelanjakan Rp 13,853 miliar hingga Rp 15,868 miliar. "Bahkan bisa sampai Rp 17 miliar, tergantung pada harga kedelai di pasar internasional," kata Johanda. Masalahnya, kedelai impor pun mengandung risiko, yakni jika terjadi lonjakan harga di pasar dunia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can