KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah kembali tersulut pada perdangangan sesi pagi, Selasa (3/7). Harga minyak naik pasca Libya mengumumkan kondisi force majeure pada dua pelabuhan minyaknya, yang semakin menyeret jumlah pasokan minyak negara tersebut. Mengutip Bloomberg, pukul 10.05 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 74,57 per barel atau naik 0,85% dari penutupan harga di hari sebelumnya. Sementara, harga minyak brent untuk pengiriman Agustus 2018 di ICE Futures juga naik 0,67% ke US$ 77,82 per barel.
Harga minyak mentah kembali menanjak setelah kemarin terkoreksi akibat adanya laporan force majeure dari Libya mengenai pasokan minyaknya. Perusahaan Minyak Nasional Libya(NOC) mengumumkan force majeure pada pemuatan dari pelabuhan Zueitina dan Hariga, Senin (2/7) kemarin, sehingga total kerugian produksi mencapai 850.000 barel per hari (bph) akibat penutupan ladang dan pelabuhan timur. Namun, pelaku pasar juga masih fokus mencermati produksi minyak AS C-OUT-T-EIA, yang telah melonjak 30% selama dua tahun terakhir menjadi 10,9 juta barel per hari. Juga, survei Reuters yang kemarin menunjukkan bahwa ouput OPEC sepanjang Juni ternyata naik 320.000 bph menjadi 32,32 juta bph. “Dalam jangka pendek, tingkat produksi OPEC - penyebaran kapasitas cadangan oleh Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Kuwait, serta Rusia sebagai mantan OPEC, juga gangguan-gangguan yang tidak disengaja di Libya, Venezuela, Iran - adalah pendorong penting dari harga minyak mentah," kata Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang diterbitkan pada Senin (2/7) malam, sepeti dikutip
Reuters. Selain itu, produsen juga tengah memperhatikan perlambatan yang terjadi pada pemintaan minyak yang dikhawatirkan berlanjut hingga akhir tahun.
"Pertumbuhan permintaan minyak petroleum AS melambat secara signifikan menjadi 385.000 bph yoy di bulan April, dibandingkan dengan pertumbuhan lebih dari 730.000 bph yoy di kuartal pertama,” kata bank Barclays, yang menambahkan bahwa sebagian besar penyebabnya adalah harga bahan bakar yang lebih tinggi. Sementara di Asia, wilayah pengonsumsi minyak terbesar di dunia, impor minyak juga tampak menurun sejak Mei. Hal ini diprediki lantaran biaya yang lebih tinggi, serta dampak perselisihan dagang yang antara Amerika Serikat dan China mulai berpengaruh pada perekonomian. “Ada tanda-tanda bahwa pertumbuhan di China telah melambat dalam beberapa bulan terakhir, khususnya belanja infrastruktur oleh pemerintah daerah. Saya berasumsi bahwa investasi infrastruktur cukup memutuhkan energi yang intensif, jadi mungkin itu memberi efek knock-on terhadap permintaan minyak, ” kata Frederic Neumann, Wakil Kepala Riset Ekonomi Asia HSBC di Hong Kong, Senin (2/7). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia