KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga jual minyak sawit mentah alias
crude palm oil (CPO) di kuartal III 2018 cenderung melemah akibat terjadinya perang dagang AS dan China. Pasokan CPO yang melimpah diproyeksikan masih akan terjadi hingga akhir tahun dan menekan harga komoditas ini. Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang kuartal III 2018 harga CPO kontrak Desember 2018 di Malaysia Derivative Exchange melemah 7,95% ke RM 2.174 per ton. Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan sepanjang kuartal III 2018 harga CPO melemah karena secara umum pasar komoditas terpapar sentimen negatif dari ketegangan perang dagang antara AS dan China.
"Pasar CPO kalau tidak datang dari India, ya China, jadi sentimen perang dagang ini yang mempengaruhi harga CPO melemah," kata Deddy, Kamis (4/10). Penurunan harga CPO ini juga bisa terlihat dari turunnya permintaan. Sejak awal tahun hingga Agustus 2018, berdasarkan data Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Deddy mengutip ekspor CPO Indonesia turun 2% dari periode yang sama tahun lalu dari 19 juta ton menjadi 20 juta ton. Deddy mengkhawatirkan harga CPO di akhir tahun masih sulit untuk merangkak naik. Penyebabnya, di kuartal iV diproyeksikan produksi CPO Indonesia naik 4 juta ton hingga 6 juta ton sehingga total produksi CPO menjadi 40 juta ton hingga 42 juta ton. "Adanya kenaikan produksi dan ketegangan perang dagang AS dan China mendominasi pergerakan harga CPO hingga pelaku pasar merespon negatif komoditas ini," kata Deddy. Bahkan, Deddy memproyeksikan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan solar bercampur minyak kelapa sawit 20% (B20) belum signifikan bisa menyerap banjirnya pasokan CPO hingga akhir tahun. Di perkirakan efek positif kebijakan tersebut baru akan terasa untuk jangka panjang. Di sisi lain, harga CPO masih akan tertekan hingga akhir tahun karena harga minyak kedelai melemah akibat meningkatnya produksi lantaran perluasan lahan kedelai di Amerika Serikat dan Argentina. Sekedar informasi, minyak kedelai merupakan subsitusi CPO ketika harga CPO jauh lebih tinggi. Selain itu, terkait dengan kebijakan Eropa memberlakukan Indirect Land Use Change (ILUC), dinilai akan berdampak pada berkurangnya ekspor biodiesel. Deddy mencatat kampanye hitam Eropa yang mendiskriminasi produk CPO Indonesia telah menurunkan ekspor CPO ke Eropa sebesar 10%.
Dari sisi permintaan untuk kuartal IV 2018, Deddy proyeksikan cenderung stabil karena sentimen negatif harga kedelai yang lebih murah. Meski begitu, perang dagang AS dan China bisa membatasi ekspor kedelai AS ke China. Jika, penggunaan minyak kedelai di China bisa digantikan CPO, maka harga CPO berpotensi mengalami kenaikan. Melihat sentimen negatif masih membayangi fundamental harga CPO, Deddy mengatakan perbaikan harga jual CPO sulit tercapai. Deddy mengamati setiap harga CPO setuh level RM 2.000 per ton maka biasanya akan terjadi rebound. Dengan begitu, Deddy memproyeksikan area RM 2.000 per ton atau RM 1.900 akan menjadi level support yang cukup kuat. "Di akhir tahun selama support bisa menahan aksi jual di pasar, maka rentang harga CPO di akhir tahun tidak jauh berbeda dari rentang harga saat ini atau sekitar RM 2.000 per ton hingga RM 2.250 per ton," kata Deddy. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Narita Indrastiti