KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun fasilitas permunian mineral terintegrasi atau smelter.Emiten di sektor pertambangan pun dibayangi oversupply karena industri di dalam negeri kurang menyerap pasokan dan kinerja ekspor yang tidak signifikan. Untuk itu, pemerintah Indonesia dinilai perlu membangun industri turunan di dalam negeri agar bisa menyerap pasokan. Bank Dunia alias World Bank memperkirakan harga nikel tahun ini berpotensi menurun 10% secara year on year (yoy) lantaran melimpahnya produksi di Indonesia dan Filipina. Maklum, kedua negara adalah produsen nikel terbesar. Harga yang menurun dan kelebihan pasokan ini membuat industri ini dibayang-bayangi nasib suram. Seperti diketahui, pemerintah berkomitmen menjalankan hilirisasi di sektor mineral berdasarkan komoditasnya antara lain, besi, emas-perak, tembaga, timah, bauksit, dan nikel.
Kementerian Perindustrian mencatat hingga Maret 2024, Indonesia memiliki 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE). Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi dan 7 lainnya masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies(FS). Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pembangunan 16 smelter tahun 2024 dengan investasi sebesar US$ 11,6 miliar. 16 smelter terdiri dari tujuh smelter di sektor nikel, tujuh smelter untuk bauksit, satu smelter sektor besi, dan satu smelter untuk industri tembaga. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, produk dari smelter nikel berupa NPI, FeNi, Ni-Matte dan MHP semua masih di ekspor karena kecil sekali yang bisa diserap di dalam negeri. Perusahaan tentu harus melakukan ekspor produk yang dihasilkan. "Untuk itu pemerintah lewat Kementerian Perindustrian harus segera membangun industri turunannya di Indonesia," kata Rizal kepada KONTAN, Kamis (21/3). Menurut Rizal, Dirjen Ilmate sudah menekankan untuk menggunakan pohon industri untuk pengembangan industri berbasis mineral tersebut. Demikian juga dengan tembaga, kalau tidak ada industri lanjutannya yang bisa menangkap produk dari smleter tembaga mau tidak mau harus di ekspor ke negara lain agar bisa diproses lebih lanjut untuk menghasilkan produk jadi. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menilai, kelebihan pasokan akan memang akan di ekspor sambil menunggu pertumbuhan industri dalam negeri.Serapan dalam negri dapat mengatasi kelebihan produksi saat ini. "Dengan kelebihan produk tembaga, kita harapkan ada investor yang mau membangun industri, asal koordinasi dan sinergi antar kementrian dan lembaga ditingkatkan," kata Djoko kepada KONTAN, Kamis (21/3). Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Permunian (AP3I)Haykal Hubies menyatakan, pemerintah memainkan peran kunci dalam mengatasi tantangan terkait penggunaan hasil produksi nikel dan tembaga oleh industri otomotif, serta memfasilitasi sinergi antara industri smelter dengan sektor otomotif dan industri lainnya. "Kami sarankan agar Kemenperin RI untuk proaktif mengidentifikasi dan memfasilitasi hambatan atau tantangan industri-industri padat modal seperti smelter-smelter tersebut," ungkapnya kepada KONTAN, Kamis (21/3).
Menurut Haykal ada beberapa pendekatan untuk mengatasi kelebihan pasokan ini, di antaranya membantu mengkampanyekan kualitas produk-produk smelter yang lebih baik dan compatible dengan kebutuhan sektor otomotif misalnya. Selain itu, pemerintah perlu menginisiasi dan memfasilitasi peluang kerja sama antara produsen smelter dengan industri otomotif dan ?mendorong dengan menerapkan insentif tertentu yang terukur bagi sektor-sektor padat modal yang menggunakan produksi smelter dalam negeri. "Semuanya itu bertujuan untuk memperkuat atau mengintegrasikan rantai pasokan lokal," pungkas Haykal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini