KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasokan tembaga dalam beberapa tahun mendatang berpotensi lebih sedikit ketimbang permintaan. Hal ini memperhitungkan kemungkinan proyek brownfield dan perpanjangan umur tambang yang ada, belum termasuk komitmen proyek baru ke depan. Perusahaan riset dan konsultasi global Wood Mackenzie memprediksi, dalam skenario transisi energi yang dipercepat, permintaan tembaga utama bakal tumbuh sekitar 2% setiap tahunnya selama 2023-2025. Proyeksi ini dengan asumsi produksi olahan dari sumber daya sekunder naik sekitar 3,6% per tahun selama 2022-2025. Kurangnya investasi terhadap tembaga dalam satu dekade terakhir juga berpotensi mengganggu pasokan komoditas logam ini. Padahal, tembaga menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang banyak digunakan dalam pengembangan kendaraan listrik dan infrastruktur pembangkit listrik.
Baca Juga: Perpanjangan Kontrak Konsentrat Tembaga Freeport Dinilai Positif Chief Analyst DCFX Futures Lukman Leong menilai, pasokan tembaga yang rendah memang menjadi perhatian pasar. "Namun, rendahnya pasokan pada tahun ini akan diimbangi dengan melemahnya permintaan akibat perlambatan ekonomi global," ucap Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (10/5). Dengan begitu, harga tembaga diprediksi akan tetap tinggi meski kenaikannya tidak terlalu signifikan. Namun, jika dibandingkan dengan harga rata-rata sebelum pandemi Covid-19, harga tembaga pada 2023 tetap berada di level tinggi Lukman memprediksi, harga tembaga akan berada di kisaran US$ 9.000-US$ 9.300 per ton pada akhir tahun 2023 Berdasarkan data Bloomberg, harga tembaga di London Metal Exchange per perdagangan Selasa (9/5) berada di US$ 8.591,5 per ton atau naik 0,12% dalam sehari. Baca Juga: Ini Tanda-Tanda Jika Outlook Ekonomi China Dibayangi Awan Hitam Untuk tahun 2024, permintaan terhadap tembaga serta logam industri lainnya, seperti aluminium, nikel, dan timah diperkirakan akan kembali pulih. Hal ini sejalan dengan potensi aktivitas ekonomi yang lebih kuat sehingga mendorong permintaan.