KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (Paspi) menilai, industri biodiesel di Indonesia telah sesuai arahan pemerintah dalam membangun kemandirian energi di dalam negeri, serta mendukung sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyikapi demo sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan petani kelapa sawit. "Produsen jangan terusan-terusan jadi victim (korban) karena mereka mengikuti aturan pemerintah. Kalau ada yang dilanggar ada proses hukumnya," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (Paspi) Tungkot Sipayung, dalam rilis. Menurut dia, subsidi biodiesel bukan diberikan kepada pelaku usaha, tetapi kepada konsumen. Baca Juga:
SPKS Minta KPPU Usut Monopoli Industri Sawit dan Biodiesel Pasalnya, harga biodiesel tergantung harga CPO dan BBM dunia. Pemerintah setiap bulan telah menetapkan Harga Indeks Pembelian (HIP) solar dan HIP biodiesel. Jika HIP solar lebih murah dari HIP biodiesel, maka BPDPKS menutup selisihnya (HIP biodiesel dikurangi HIP solar). Sebaliknya, bila HIP Solar lebih mahal dari HIP biodiesel (seperti saat ini) tidak ada subsidi dari BPDKS. Tungkot menjelaskan, kartel di industri sawit, tetutama minyak goreng di Indonesia secara ekonomi tidak ada karena jumlah pemainnya banyak. "Paling ideal adalah persaingan sempurna, yang mana pemainnya banyak, seragam, dan tidak ada persaingan tapi itu hanya ada di text book," ujar Tungkot. Di Indonesia, ada banyak pelaku minyak goreng, yaitu sekitar 100 produsen dari skala kecil hingga besar. Dari jumlah tersebut, sekira 70 produsen menjadi anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni). Jika ada banyak pemain dalam suatu industri, meskipun mereka didorong untuk melakukan kartel tetap tidak akan terjadi karena industri akan berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini akan berbeda jika pemainnya sedikit, kendati dilarang, tetap akan terjadi kartel. "Sekarang ada 70-80 produsen dan mereknya berbeda-beda, itu cukup banyak untuk ukuran industri minyak sawit di Indonesia," kata Tungkot. Indikasi lain tidak adanya kartel minyak goreng yaitu persaingan pasar minyak goreng dalam negeri tidak hanya sawit. Baca Juga:
Indofood Soroti Bisnis Inklusif Menuju Ketahanan Rantai Pasokan di Forum B20 Tapi juga ada minyak nabati dari luar negeri, seperti rapeseed dan biji bunga matahari. Selain bahan baku melimpah, ada banyak distributor dan pemain di setiap provinsi. Berdasarkan data Paspi, harga minyak goreng dalam negeri pun mengikuti irama harga dunia yang menunjukkan pasar terintegrasi dengan internasional. Tungkot menyebut, kondisi tersebut justru positif yang menunjukkan bahwa pasar di tanah air efisien. "Sejak 2019 harga dalam negeri lebih stabil dibanding internasional. Kalau ada kartel harga lokal pasti ikut internasional," ungkap Tungkot.
Tungkot menegaskan, tidak ada mafia minyak goreng yang memicu kelangkaan. Hal itu terjadi akibat berlakunya dimestic price obligation (DPO), yaitu ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng Rp 14.000 di tangan konsumen. Padahal, Tungkot menambahkan ada biaya distribusi dari produsen ke pasar dan tidak sesuai dengan harga CPO yang berlaku. Hal itu menyebabkan produsen rugi sehingga memangkas produksinya. Baca Juga:
BPS Catat Harga CPO hingga Bijih Besi Mulai Turun pada Oktober 2022 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana