Jakarta. Tak cuma investor di pasar modal yang tengah mengerutkan keningnya melihat rapor merah aneka instrumen portofolio investasinya. Penurunan harga saham dan kejatuhan nilai tukar rupiah dalam satu bulan terakhir ini juga memusingkan para bankir dan pengusaha. Sumber kepusingan mereka adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7% pada akhir Agustus lalu.Kini, para bankir tengah berpikir keras untuk memperoleh besaran bunga kredit yang pas dan kompetitif sehingga dapat mengompensasi kenaikan bunga simpanan sekaligus tidak semakin memberatkan nasabah dan debiturnya. Setidaknya, ada lima komponen yang menjadi pertimbangan bankir untuk menentukan besaran bunga kredit.Pertama, biaya dana alias cost of fund. Ini adalah biaya bunga yang harus dikeluarkan oleh bank untuk memperoleh simpanan dengan pemberian kredit. Kedua, biaya operasional seperti biaya pegawai, administrasi, dan lain-lain.Ketiga, biaya pencadangan (provisi). Bank senantiasa mencadangkan dana siaga untuk mengantisipasi risiko kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL). Bank lantas membebankan dana pencadangan tersebut dalam bentuk persentase terhadap kredit yang disalurkan.Keempat, margin bank. Selain melihat kompetitor, besar-kecil margin yang dipungut bank juga melihat “kelas” debitur jenis kredit. Kelima, pajak. Ini adalah biaya yang wajib dibayarkan bank kepada pemerintah atas penyaluran kredit.Dari lima komponen tersebut, sudah tentu para bankir dipusingkan oleh kenaikan biaya dana. Maklum, sejak BI rate mulai naik dalam dua bulan terakhir ini, perbankan juga perlu mengerek bunga simpanan agar nasabahnya tak kabur dan likuiditas terjaga baik.Bank Mutiara memilih memagari nasabah berkocek tebal terlebih dahulu karena tipe nasabah ini paling sensitif terhadap besaran bunga. “Dalam mengendalikan inflasi, BI gencar menyerap uang beredar sehingga bank harus menjaga pasokan dana. Jadi, menaikkan bunga deposito menjadi pilihan realistis,” kata Direktur Jaringan dan Distribusi Bank Mutiara, Benny Purnomo.Risiko NPL melejitBak efek berantai, kenaikan bunga simpanan tentu ikut mengerek bunga kredit. Benny bilang, kenaikan bunga simpanan menyebabkan biaya dana Bank Mutiara meningkat dari 7,4% menjadi 7,5%. “Dalam kondisi seret likuiditas, bank akan bermain pada suku bunga simpanan,” kata Benny. Begitu pula Bank Mega, yang mengalami kenaikan biaya dana sebesar 0,1% dari posisi akhir Juni lalu sebesar 4,35% Nah, demi menutup pembengkakan cost of fund tersebut, bank bakal menaikkan bunga kredit. Namun, perbankan cenderung berhati-hati melakukan aksi tersebut. “Kami tidak bisa sembarangan menaikkan bunga sektor korporasi karena persaingan sangat ketat dan bank lain juga pasti mikir-mikir kalau mau menaikkan bunga,” kata Kostaman Thayib, Presiden Direktur Bank Mega.Perbankan lebih memilih menaikkan bunga kredit retail seperti kredit konsumsi. Kredit yang masuk segmen ini antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB).Beberapa bank seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Mutiara mengutamakan tarif revisi bunga kredit untuk debitur baru. Awal September lalu, Bank Mutiara sudah menaikkan bunga KPR sebesar 0,25%–050%. Meski membuka peluang menaikkan bunga KPR untuk debitur lama, Bank Mutiara akan melihatnya kasus per kasus.Bunga KPR BCA akan naik pada pekan kedua September ini. Seperti bunga KPR fixed setahun yang semula 7,5% dinaikkan menjadi 8,25% dan bunga KPR fixed dua tahun dikerek dari 8% menjadi 8,75% per tahun. Untuk program fixed and cap, bunga KPR BCA dinaikkan dari 8% dan 9,5% menjadi 8,8% dan 9,9%.Menurut Henry, debitur lama yang sudah memilih program KPR tertentu tidak akan dikenai revisi bunga. Sementara kreditur lama yang sudah masuk bunga floating, sejauh ini juga belum dikenai revisi bunga. Toh, BCA masih mempertimbangkan revisi bunga KPR bagi debitur lama. “Sejauh floating rate masih dalam range yang reasonable, kami tidak perlu menaikkan bunga,” tandasnya.Sementara Bank Rakyat Indonesia sudah mengumumkan kenaikan bunga KPR sebesar 0,5% pada Agustus lalu namun mulai diberlakukan pada bulan September ini. Meski begitu, kebijakan mengerek bunga KPR itu diambil ketika BI belum mengerek bunga acuan menjadi 7% pada akhir Agustus lalu. Alhasil, bank pelat merah ini sedang kembali menghitung bunga KPR: apakah akan menaikkan bunga lagi atau tidak. “Masih dalam kajian, jadi tunggu saja,” kata Muhammad Ali, Corporate Secretary BRI.Di satu sisi, kenaikan bunga kredit mungkin bisa menutup risiko pembengkakan biaya dana. Namun, di sisi lain, kenaikan bunga kredit itu berpotensi mengerek kredit bermasalah (NPL). Tanda-tanda itu sudah terlihat di beberapa bank.Bank Mega, misalnya, NPL gross per Juni lalu mencapai 2,69% atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,44%. Berkaca dari rapor paruh pertama tahun ini, mereka berusaha mengerem penyaluran kredit agar NPL tak semakin membengkak. “Akhir tahun kami ingin kredit tumbuh sebesar 20%,” ujar Kostaman.Secara umum perbankan memang kompak menyusun strategi agar tingkat NPL tak melejit drastis pasca kenaikan bunga kredit. Mereka memonitor dan melihat kemampuan nasabah, termasuk menawarkan restrukturisasi kredit bermasalah.Ada yang pasrah, ada yang siap protesTren kenaikan bunga KPR mulai bulan September ini tentu akan mempengaruhi bisnis sektor properti. Harun Hajadi, Managing Director Ciputra Group, memperkirakan penjualan rumah bakal terganggu dalam jangka pendek. Dus, harga jual rumah juga akan naik mengikuti tren kenaikan harga bahan bangunan yang memiliki kandungan impor. “Tapi kami berupaya melakukan berbagai kemudahan, misalnya cicilan uang muka,” kata Harun.Ferry Mulyana, pengembang independen di Sukabumi, Jawa Barat, juga mau meninjau ulang harga jual rumah karena terdorong harga bahan bangunan. Untuk membangun rumah, pengembang mengandalkan KPR pembeli rumah. Setiap permohonan KPR yang lolos, dia menerima 50% dananya. Sisa dana dibayar bank setelah bangunan jadi dan dokumen lengkap.Lantas, bagaimana tanggapan para debitur KPR lama terhadap kenaikan bunga kredit tersebut? Deny Hermawan, debitur Bank Mandiri, mengaku bunga KPR sudah naik dari 13% menjadi 13,5% per bulan Juli lalu. Dia tidak mau terlalu pusing oleh kenaikan tersebut lantaran KPR miliknya sudah berjalan enam tahun dari total kredit berjangka 15 tahun.Sementara Ayu Karmila, debitur KPR Bank Tabungan Negara (BTN), berniat melunasi sisa pokok utang yang sebesar Rp 17 juta ketimbang harus terbebani lagi oleh kenaikan bunga KPR. Pasalnya, dia sudah mencicipi kenaikan bunga KPR tahun ini menjadi 11% dari tahun lalu yang sebesar 9%. Ayu mengambil KPR BTN pertama kali tahun 2008 dengan tenor 10 tahu, namun bunga kreditnya naik setiap dua tahun sekali.Lain cerita dengan Yuanita. Debitur KPR Bank Negara Indonesia (BNI) ini mengaku bakal memprotes jika kenaikan bunga kredit tersebut menimpanya. Dia mengambil KPR BNI sejak tahun 2009. Sistem bunga KPR direvisi setiap tahun pada bulan November. Nah, tahun ini, dia mesti membayar bunga KPR sebesar 13%.Sejak mengambil KPR BNI itu, Yuanita mengaku cicilan KPR tidak pernah mengempis meski BI rate sempat turun selama tahun lalu. “Masa sekarang giliran BI rate naik, lalu mau dinaikkan. Tidak bisa begitu, dong,” sungut Yuanita.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 49 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pasrah atau protes, bunga KPR pasti naik
Jakarta. Tak cuma investor di pasar modal yang tengah mengerutkan keningnya melihat rapor merah aneka instrumen portofolio investasinya. Penurunan harga saham dan kejatuhan nilai tukar rupiah dalam satu bulan terakhir ini juga memusingkan para bankir dan pengusaha. Sumber kepusingan mereka adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7% pada akhir Agustus lalu.Kini, para bankir tengah berpikir keras untuk memperoleh besaran bunga kredit yang pas dan kompetitif sehingga dapat mengompensasi kenaikan bunga simpanan sekaligus tidak semakin memberatkan nasabah dan debiturnya. Setidaknya, ada lima komponen yang menjadi pertimbangan bankir untuk menentukan besaran bunga kredit.Pertama, biaya dana alias cost of fund. Ini adalah biaya bunga yang harus dikeluarkan oleh bank untuk memperoleh simpanan dengan pemberian kredit. Kedua, biaya operasional seperti biaya pegawai, administrasi, dan lain-lain.Ketiga, biaya pencadangan (provisi). Bank senantiasa mencadangkan dana siaga untuk mengantisipasi risiko kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL). Bank lantas membebankan dana pencadangan tersebut dalam bentuk persentase terhadap kredit yang disalurkan.Keempat, margin bank. Selain melihat kompetitor, besar-kecil margin yang dipungut bank juga melihat “kelas” debitur jenis kredit. Kelima, pajak. Ini adalah biaya yang wajib dibayarkan bank kepada pemerintah atas penyaluran kredit.Dari lima komponen tersebut, sudah tentu para bankir dipusingkan oleh kenaikan biaya dana. Maklum, sejak BI rate mulai naik dalam dua bulan terakhir ini, perbankan juga perlu mengerek bunga simpanan agar nasabahnya tak kabur dan likuiditas terjaga baik.Bank Mutiara memilih memagari nasabah berkocek tebal terlebih dahulu karena tipe nasabah ini paling sensitif terhadap besaran bunga. “Dalam mengendalikan inflasi, BI gencar menyerap uang beredar sehingga bank harus menjaga pasokan dana. Jadi, menaikkan bunga deposito menjadi pilihan realistis,” kata Direktur Jaringan dan Distribusi Bank Mutiara, Benny Purnomo.Risiko NPL melejitBak efek berantai, kenaikan bunga simpanan tentu ikut mengerek bunga kredit. Benny bilang, kenaikan bunga simpanan menyebabkan biaya dana Bank Mutiara meningkat dari 7,4% menjadi 7,5%. “Dalam kondisi seret likuiditas, bank akan bermain pada suku bunga simpanan,” kata Benny. Begitu pula Bank Mega, yang mengalami kenaikan biaya dana sebesar 0,1% dari posisi akhir Juni lalu sebesar 4,35% Nah, demi menutup pembengkakan cost of fund tersebut, bank bakal menaikkan bunga kredit. Namun, perbankan cenderung berhati-hati melakukan aksi tersebut. “Kami tidak bisa sembarangan menaikkan bunga sektor korporasi karena persaingan sangat ketat dan bank lain juga pasti mikir-mikir kalau mau menaikkan bunga,” kata Kostaman Thayib, Presiden Direktur Bank Mega.Perbankan lebih memilih menaikkan bunga kredit retail seperti kredit konsumsi. Kredit yang masuk segmen ini antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB).Beberapa bank seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Mutiara mengutamakan tarif revisi bunga kredit untuk debitur baru. Awal September lalu, Bank Mutiara sudah menaikkan bunga KPR sebesar 0,25%–050%. Meski membuka peluang menaikkan bunga KPR untuk debitur lama, Bank Mutiara akan melihatnya kasus per kasus.Bunga KPR BCA akan naik pada pekan kedua September ini. Seperti bunga KPR fixed setahun yang semula 7,5% dinaikkan menjadi 8,25% dan bunga KPR fixed dua tahun dikerek dari 8% menjadi 8,75% per tahun. Untuk program fixed and cap, bunga KPR BCA dinaikkan dari 8% dan 9,5% menjadi 8,8% dan 9,9%.Menurut Henry, debitur lama yang sudah memilih program KPR tertentu tidak akan dikenai revisi bunga. Sementara kreditur lama yang sudah masuk bunga floating, sejauh ini juga belum dikenai revisi bunga. Toh, BCA masih mempertimbangkan revisi bunga KPR bagi debitur lama. “Sejauh floating rate masih dalam range yang reasonable, kami tidak perlu menaikkan bunga,” tandasnya.Sementara Bank Rakyat Indonesia sudah mengumumkan kenaikan bunga KPR sebesar 0,5% pada Agustus lalu namun mulai diberlakukan pada bulan September ini. Meski begitu, kebijakan mengerek bunga KPR itu diambil ketika BI belum mengerek bunga acuan menjadi 7% pada akhir Agustus lalu. Alhasil, bank pelat merah ini sedang kembali menghitung bunga KPR: apakah akan menaikkan bunga lagi atau tidak. “Masih dalam kajian, jadi tunggu saja,” kata Muhammad Ali, Corporate Secretary BRI.Di satu sisi, kenaikan bunga kredit mungkin bisa menutup risiko pembengkakan biaya dana. Namun, di sisi lain, kenaikan bunga kredit itu berpotensi mengerek kredit bermasalah (NPL). Tanda-tanda itu sudah terlihat di beberapa bank.Bank Mega, misalnya, NPL gross per Juni lalu mencapai 2,69% atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,44%. Berkaca dari rapor paruh pertama tahun ini, mereka berusaha mengerem penyaluran kredit agar NPL tak semakin membengkak. “Akhir tahun kami ingin kredit tumbuh sebesar 20%,” ujar Kostaman.Secara umum perbankan memang kompak menyusun strategi agar tingkat NPL tak melejit drastis pasca kenaikan bunga kredit. Mereka memonitor dan melihat kemampuan nasabah, termasuk menawarkan restrukturisasi kredit bermasalah.Ada yang pasrah, ada yang siap protesTren kenaikan bunga KPR mulai bulan September ini tentu akan mempengaruhi bisnis sektor properti. Harun Hajadi, Managing Director Ciputra Group, memperkirakan penjualan rumah bakal terganggu dalam jangka pendek. Dus, harga jual rumah juga akan naik mengikuti tren kenaikan harga bahan bangunan yang memiliki kandungan impor. “Tapi kami berupaya melakukan berbagai kemudahan, misalnya cicilan uang muka,” kata Harun.Ferry Mulyana, pengembang independen di Sukabumi, Jawa Barat, juga mau meninjau ulang harga jual rumah karena terdorong harga bahan bangunan. Untuk membangun rumah, pengembang mengandalkan KPR pembeli rumah. Setiap permohonan KPR yang lolos, dia menerima 50% dananya. Sisa dana dibayar bank setelah bangunan jadi dan dokumen lengkap.Lantas, bagaimana tanggapan para debitur KPR lama terhadap kenaikan bunga kredit tersebut? Deny Hermawan, debitur Bank Mandiri, mengaku bunga KPR sudah naik dari 13% menjadi 13,5% per bulan Juli lalu. Dia tidak mau terlalu pusing oleh kenaikan tersebut lantaran KPR miliknya sudah berjalan enam tahun dari total kredit berjangka 15 tahun.Sementara Ayu Karmila, debitur KPR Bank Tabungan Negara (BTN), berniat melunasi sisa pokok utang yang sebesar Rp 17 juta ketimbang harus terbebani lagi oleh kenaikan bunga KPR. Pasalnya, dia sudah mencicipi kenaikan bunga KPR tahun ini menjadi 11% dari tahun lalu yang sebesar 9%. Ayu mengambil KPR BTN pertama kali tahun 2008 dengan tenor 10 tahu, namun bunga kreditnya naik setiap dua tahun sekali.Lain cerita dengan Yuanita. Debitur KPR Bank Negara Indonesia (BNI) ini mengaku bakal memprotes jika kenaikan bunga kredit tersebut menimpanya. Dia mengambil KPR BNI sejak tahun 2009. Sistem bunga KPR direvisi setiap tahun pada bulan November. Nah, tahun ini, dia mesti membayar bunga KPR sebesar 13%.Sejak mengambil KPR BNI itu, Yuanita mengaku cicilan KPR tidak pernah mengempis meski BI rate sempat turun selama tahun lalu. “Masa sekarang giliran BI rate naik, lalu mau dinaikkan. Tidak bisa begitu, dong,” sungut Yuanita.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 49 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News