Patrialis pertimbangkan banding



JAKARTA. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menerima gugatan pembatalan Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tentang pengangkatan Hakim Konstitusi Maria Farida Ahmad Sodiki dan Patrialis Akbar. Atas putusan itu, Patrialis mempertimbangkan untuk mengajukan banding. "Saya kira demi kepentingan bangsa, mungkin saya akan melakukan itu (banding)," ujar Patrialis pada paparan media di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (23/12/2013). Dia mengatakan, putusan itu dapat merugikan kepentingan bangsa. Pasalnya, jumlah hakim MK semakin berkurang. Menurut Patrialis hal itu akan berpengaruh pada penanganan perkara di MK, terutama usai pemungutan suara Pemilu 2014 nanti. "Kalau memang putusan PTUN merugikan bangsa kita, dan MK tidak bisa jalan, karena terganggu kondisi pemilu, satu-satunya ya banding," lanjut mantan Menteri Hukum dan HAM itu. Dikatakannya, sebagai tergugat intervensi, dirinya memiliki hak untuk mengajukan banding. Ia menuturkan, upaya hukum itu sebenarnya dapat ia lakukan sendiri. "Tapi nanti tergantung Ibu Maria. Sebenarnya saya sendiri juga bisa kalau ingin banding. Tapi sebagai satu kesatuan ya harus berbincang bersama Ibu Maria," lanjut Patrialis. PTUN Jakarta membatalkan keppres terkait pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim MK. Hal ini dikatakan salah satu anggota tim advokasi Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi, Erwin Natosmal. "Argumen hakim yg berdasarkan kepada semangat Perppu No 1 tahun 2013 mencerminkan kepekaan hakim dalam membaca hukum yg bergerak," katanya. Perkara ditangani majelis hakim Teguh Satya Bhakti, Elizabeth IEHL Tobing dan I Nyoman Harnanta. Gugatan itu diajukan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, karena dianggap ada proses yang salah dalam pengangkatan calon hakim konstitusi. Kata dia, penunjukan Patrialis ini cacat hukum. Padahal aturan tentang MK Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan, pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif dan harus dipublikasikan kepada masyarakat. Keppres itu dinilai melanggar UU MK Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 20 (2) soal integritas calon sebagai negarawan yang menguasai konstitusi. (Deytri Robekka Aritonang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie