Patut Disimak, Ambang Batas Hipertensi versi WHO Berbeda dengan Anggapan Umum



KONTAN.CO.ID. Hipertensi disebut sebagai silent killer, pencabut nyawa diam-diam. Maklum, kebanyakan orang dengan hipertensi tak menyadari masalah ini karena mungkin tidak ada tanda atau gejala peringatan.

Oleh sebab itu, menurut Fact Sheet tentang Hipertensi versi WHO, tekanan darah harus diukur secara teratur untuk mengetahui kepastiannya.

Namun demikian, gejala yang muncul dapat berupa sakit kepala di pagi hari, mimisan, irama jantung tidak teratur, perubahan penglihatan, dan telinga berdengung. Bahkan, hipertensi yang berat dapat menyebabkan kelelahan, mual, muntah, kebingungan, kecemasan, nyeri dada, dan tremor otot.


Baca Juga: Golongan Ini Lebih Rentan Flu, Kenali Gejala dan Pencegahannya

Satu-satunya cara untuk mendeteksi hipertensi, masih menurut WHO, adalah meminta bantuan ahli kesehatan untuk mengukur tekanan darah.

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit. Setiap orang juga bisa mengukur tekanan darahnya sendiri menggunakan perangkat otomatis, namun evaluasi oleh profesional kesehatan penting untuk menilai risiko dan kondisi terkait.

Apakah hipertensi itu?

Tekanan darah adalah kekuatan yang bekerja dengan mengalirkan darah ke dinding arteri tubuh, pembuluh darah utama dalam tubuh. Hipertensi terjadi ketika tekanan darah terlalu tinggi.

Tekanan darah ditulis sebagai dua angka. Angka pertama (sistolik) mewakili tekanan di pembuluh darah saat jantung berkontraksi atau berdetak. Angka kedua (diastolik) mewakili tekanan di pembuluh saat jantung beristirahat di antara detak jantung.

Nah, menurut WHO, hipertensi didiagnosis jika ketika diukur pada dua hari yang berbeda, pembacaan tekanan darah sistolik pada kedua hari tersebut adalah ≥140 mmHg dan / atau pembacaan tekanan darah diastolik pada kedua hari tersebut adalah ≥90 mmHg.

Ini berbeda dengan anggapan umum yang menyebut bahwa ambang batas tekanan darah disebut hipertensi kalau melebihi angka sistolik/diastolik: 120 mmHG - 80 mmHg.

Baca Juga: Amlodipine Obat Hipertensi Kondang, Simak Dosis dan Efeknya!

Apa saja faktor risiko hipertensi?

Faktor risiko hipertensi yang bisa diubah termasuk diet yang tidak sehat (konsumsi garam berlebihan, diet tinggi lemak jenuh dan lemak trans, rendahnya asupan buah dan sayuran), aktivitas fisik, konsumsi tembakau dan alkohol, dan kelebihan berat badan atau obesitas.
Adapun faktor risiko yang tidak dapat diubah termasuk riwayat keluarga hipertensi, usia di atas 65 tahun dan penyakit yang menyertai seperti diabetes atau penyakit ginjal.

Baca Juga: Ini Sejarah Aspirin, Manfaat, Dosis, dan Efek Samping

Apa komplikasi dari hipertensi yang tidak terkontrol?

WHO menyebut hipertensi bisa menyebabkan kerusakan serius pada jantung. Tekanan yang berlebihan dapat mengeraskan arteri, menurunkan aliran darah dan oksigen ke jantung. Tekanan yang meningkat dan aliran darah yang berkurang ini dapat menyebabkan:

  • Nyeri dada, disebut juga angina.
  • Serangan jantung, yang terjadi ketika suplai darah ke jantung tersumbat dan sel otot jantung mati karena kekurangan oksigen. Semakin lama aliran darah tersumbat, semakin besar kerusakan jantung.
  • Gagal jantung, yang terjadi ketika jantung tidak dapat memompa cukup darah dan oksigen ke organ vital tubuh lainnya.
  • Detak jantung tidak teratur yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
  • Hipertensi juga bisa pecah atau menyumbat arteri yang memasok darah dan oksigen ke otak, menyebabkan stroke.
  • Selain itu, hipertensi dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang berujung pada gagal ginjal.
Tonton: Gula Darah Terjaga, Ini Makanan pengganti Nasi Untuk Penderita Diabetes

Selanjutnya: Cek Update Jadwal KRL Solo Jogja Terbaru Rabu 27 November 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hasbi Maulana