KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan piutang pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater oleh perusahaan pembiayaan pada Agustus 2024 mencapai Rp 7,99 triliun. Angka itu meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar 89,20% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat berada dalam tren penurunan. Hal ini ditunjukkan dalam data deflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), di mana deflasi terjadi selama lima bulan beruntun dari Mei hingga September 2024.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda merasa khawatir kondisi ini dapat menjadi bom waktu terhadap batas aman rasio kredit macet atau non performing financing (NPF). Baca Juga:
NPL Meningkat, Bank Digital Perkuat Strategi Risiko Kredit Kendati begitu, NPF relatif tetap terjaga di bawah ambang batas sesuai ketentuan OJK. Di mana, NPF gross BNPL perusahaan pembiayaan dari Juni hingga Agustus 2024 masing-masing sebesar 3,07%, 2,82%, dan membaik di level 2,52%. Namun Nailul memprediksi bahwa terdapat potensi nilai NPF bisa naik signifikan dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan habisnya tabungan masyarakat atau nasabah yang terdampak pemutusan hubungan pekerjaan (PHK). “Sehingga menurut saya ketika sudah tidak ada biaya untuk membayar cicilan, yang terjadi adalah pembayaran cicilan jadi macet. Maka potensi gagal bayar juga bisa lebih tinggi ke depannya,” kata Nailul kepada KONTAN, Jumat (11/10). Selain itu, dia menuturkan saat ini pembiayaan BNPL menjadi andalan bagi segmentasi masyarakat yang tidak bisa mendapat akses pembiayaan dari bank karena tidak memiliki data historis keuangan yang baik.
“Maka dari itu, terjadi kenaikan BNPL saat ini. Ditambah, PHK terjadi besar-besaran, daya beli masyarakat juga tengah melemah. Bisa dikatakan BNPL bisa menjadi bantalan pembiayaan bagi masyarakat,” imbuhnya. Lebih lanjut, Nailul menilai semakin diminatinya BNPL ini pada akhirnya akan membuat industri perbankan juga meluncurkan produk bisnis yang sama. Bedanya, ia mengatakan industri perbankan punya kemampuan lebih baik dalam mengontrol kredit macet. “Memang BNPL dari perbankan menurut saya akan lebih baik karena sistem
credit scoring mereka lebih bagus. Karena seperti yang diketahui peserta BNPL mereka dari nasabah mereka sendiri. Jadi data historis transaksi keuangan lebih baik," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari