PBB Berusaha Kumpulkan Lebih dari US$850 Juta untuk Membantu Rohingya



KONTAN.CO.ID - PBB sedang berusaha mengumpulkan sumbangan tambahan untuk membantu para pengungsi Rohingya di Bangladesh. Target dana yang hendak dicapai adalah US$852,4 juta.

"Solidaritas internasional terhadap Bangladesh dan perlindungan pengungsi sangat dibutuhkan seiring dengan meningkatnya konflik di Myanmar," kata Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dalam sebuah pernyataan hari Rabu (13/4), dikutip Al Jazeera.

UNHCR melaporkan, sekitar 95% warga Rohingya di Bangladesh masih bergantung pada bantuan kemanusiaan. 


Seluruh sumbangan yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk membeli makanan, membangun tempat tinggal, perawatan kesehatan, akses air minum, layanan perlindungan, pendidikan, dan bantuan lainnya.

Baca Juga: Kebakaran Kamp Pengungsi Rohingya di Bangladesh, 7.000 Orang Telantar

Tahun lalu PBB telah mengajukan proposal permohonan bantuan serupa, yaitu meminta negara-negara untuk menyediakan US$876 juta untuk membantu Rohingya. Sayangnya hanya US$440 juta yang berhasil terkumpul.

UNHCR memperingatkan bahwa kekurangan dana yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir memiliki implikasi serius terhadap potensi munculnya krisis kemanusiaan.

"Banyak pengungsi yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka,. Bantuan berkelanjutan sangat penting dan mendesak," lanjut UNHCR.

Baca Juga: Ujaran Kebencian Terhadap Muslim di India Terus Meningkat

Dilaporkan bahwa lebih dari 75% pengungsi yang menerima bantuan adalah perempuan dan anak-anak. Di luar kesulitan mendapat bantuan kemanusiaan, kelompok itu juga menghadapi risiko pelecehan, eksploitasi dan kekerasan berbasis gender.

Kondisi kamp pengungsian di Bangladesh yang semakin tidak layak mendorong banyak warga Rohingya melarikan diri. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia menjadi tujuan paling populer.

Sayangnya, pelarian mereka ke luar kerap berakhir buruk. Banyak dari mereka yang meninggal selama perjalanan di laut, mengalami kerusakan kapal, atau bahkan ditolak oleh negara tujuan. Keberadaan mereka kemudian menjadi masalah sosial baru di negara-negara tersebut.