PBNU Soroti Aturan Tembakau dalam RUU Kesehatan, Ini Poinnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Kesehatan yang tengah digodok oleh DPR dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dimana turut mengatur perihal tembakau telah menimbulkan kekhawatiran dan kontroversi.  Di antaranya yang paling menonjol adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau.

Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Mahbub Maafi menyatakan, menolak usulan dalam RUU Kesehatan yang mengatur tembakau dan  menganggap tembakau sama dengan narkotika.  

Meski sama-sama mengandung zat adiktif, namun adiksinya  berbeda secara signifikan, dan ada perbedaan yang mendasar.


“Sangat berbahaya jika disamakan dengan narkotika,” ujar Mahbub dalam keterangannya pada kegiatan Halaqah Fikih Peradaban dan Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Al Muhajirin II Purwakarta, Sabtu (6/5).

Baca Juga: Kemenkes: RUU Kesehatan Jamin Pendidikan Spesialis Murah hingga Kurangi Bullying

Menurutnya, jika RUU itu disahkan, pada akhirnya petani tembakaulah yang akan terkena dampaknya. “Jadi kalau mereka menanam tembakau, itu seperti dikategorikan sebagai penanam narkotika atau mariyuana,” ujarnya.

Maka dari itu, hasil sementara rekomendasi yang akan dilaporkan ke PBNU pusat yaitu terkait pasal 154 dan pasal-pasal terkait tembakau lainnya untuk tidak dibahas lagi dalam RUU Kesehatan. Meminta kepada Kemenkes dan DPR untuk menghapus penyamarataan tembakau dengan Napza.

"Jadi dihilangkan saja, secara otomatis hal-hal terkait soal tembakau dan pasal di bawahnya harus dihilangkan," tegasnya.

Kenapa harus dihapus atau dihilangkan, karena soal tembakau itu sudah pernah dibahas dan sudah ada Peraturan Pemerintah-nya (PP).  Bilamana RUU ini tetap disahkan artinya tidak ada keberpihakan kepada rakyat, terutama kepada para petani.

Dia pun mengingatkan, kontribusi tembakau terhadap APBN pada tahun 2022 mencapai Rp 218 triliun. Hal tersebut menunjukkan bahwa tembakau memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi negara.

"Kalau pemerintah mau seperti itu, saya menilai pemerintah tidak ada keberpihakan. Terutama kepada para petani," tuturnya.

Menurutnya, pertanian tembakau merupakan salah satu sektor yang menggerakkan perekonomian dari bawah. Terdapat sekitar 6,1 juta orang yang terlibat dalam rantai pertanian tembakau.

"Menurut saya ini lucu, negara ko diam saja. Dan itu bukan angka kecil pada sektor tembakau. Makanya kami meminta untuk dihilangkan, karena sudah ada aturannya. Aturan yang ada saja sudah ketat, tinggal ditegakkan saja PP yang sudah ada," tegasnya.

Baca Juga: Pasal Anti Bullying di Pendidikan Kedokteran Diusulkan Masuk dalam RUU Kesehatan

Hal senada juga disampaikan oleh Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Sarmidi Husna, pada kesempatan yang sama menyatakan ketidaksetujuan dengan dimasukkannya tembakau atau produk tembakau ke dalam klausul zat adiktif.  

Klausul tersebut mengacu pada zat-zat yang bersifat adiktif, termasuk obat-obatan psikotropika dan alkohol. "Kami tidak setuju karena psikotropika, alkohol, dan tembakau adalah zat yang berbeda," tandasnya.

Menurutnya, obat-obatan psikotropika dianggap ilegal menurut hukum, sedangkan tembakau atau rokok dianggap berbeda, tambahnya.

Dia juga menyoroti bahwa ada perbedaan hukum antara kedua substansi tersebut.  Misalnya, jika seseorang meminum alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan psikotropika, seringkali menimbulkan kekacauan dan konflik antar individu yang mengkonsumsinya.

“Namun, merokok tidak menimbulkan konflik seperti itu. Justru memupuk rasa persaudaraan. Tidak ada orang yang merokok yang akan memulai perkelahian,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto