KONTAN.CO.ID - Keputusan pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras menjadi pukulan berat bagi industri perberasan. Agar bisa tetap bertahan, mereka mengaku harus menyusun strategi baru, termasuk dengan melakukan efisiensi bisnis. Direktur Utama PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI) Sukarto Bujung mengatakan, penetapan HET beras membuat perusahaan beras dalam kondisi serba sulit. Sebab saat ini harga gabah kering giling (GKG) sudah meningkat pesat bahkan sudah tembus Rp 6.000 per kilogram (kg). Harga tersebut sudah di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras Rp 4.650 per kg atau harga pembelian Bulog setelah naik 10% di harga Rp 5.115 per kg. Sukarto menyatakan, untuk mengantisipasi harga GKG yang sudah tinggi, perusahaannya memilih langsung membeli beras dari penggilingan.
Padahal sebelumnya, HOKI membeli GKG dari petani karena perusahaan ini memiliki pabrik penggilingan sendiri. "Buyung Poetra sudah hampir sebulan tidak membeli GKG lagi," ujarnya dalam diskusi perberasan Kantor CSIS Jakarta, Kamis (7/9). Ia menjelaskan, saat ini perusahaan ini juga memilih menghabiskan semua persediaan gabah yang ada. Sebab membeli gabah dengan harga Rp 5.000-Rp 6.000 per kg merugikan perusahaan. Apalagi HOKI merupakan produsen beras yang fokus pasarnya menyasar toko modern. "Kami menjual di modern market dan kalau harganya mengikuti HET, dengan harga gabah di atas Rp 5.000 per kg tentu kami rugi," tambahnya. Dengan penetapan HET beras premium di harga Rp 12.800 per kg dan menjual sesuai dengan HET, perusahaan ini mengaku harus mengurangi margin sebesar 8%. Menurutnya ini memberatkan perusahaan beras karena pendapatan berkurang drastis. Namun sayang, ia enggan membeberkan berapa penurunan pendapatan yang ditanggung. "Karena kami menjual di pasar modern, keuntungan perusahaan jelas menurun. Apalagi sekarang sedang susah, harga gabah naik karena tidak ada panen," ungkapnya. Memacu efisiensi Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi menambahkan, kenaikan harga gabah menyulitkan posisi perusahaan beras. Oleh karena itu, ia menyatakan, Food Station berupaya melakukan efisiensi. Saat ini Food Station memilih mendatangkan beras dari Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan. Sebab harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan wilayah lain. "Kuncinya efisiensi. Sekarang harga gabah Rp 6.000 per kg, jadi saya mencari mana yang lebih baik harganya," kata Arief. Dengan kondisi harga lebih menguntungkan tersebut, menjadi alasan baginya untuk mendatangkan beras dari wilayah Sidrap. "Sekarang posisi Sidrap lebih baik meski ditambah dengan ongkos transportasi." katanya.
Selain penerapan HET, Kemdag juga mewajibkan semua produsen beras menuliskan jenis dan harga di karung beras. Para produsen beras mempunyai waktu 14 hari setelah 1 September 2017 untuk mempersiapkan karung baru bertuliskan jenis dan harga beras sesuai aturan tersebut. Selama masa transisi, Kemdag membolehkan penggunaan stiker label pada kemasan. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai, penerapan HET syarat masalah. Sebab beleid ini justru menyulitkan pengusaha mengembangkan produk. Di sisi lain, pemerintah juga sulit mengawasi. Sebab ada sekitar 180.000 penggilingan dan 15.000 pedagang. "Mengawasi para pelaku usaha saja sulit. Belum lagi mengawasi kualitas beras apakah sesuai atau tidak," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini