Pebisnis biodiesel protes ke WTO



JAKARTA. Produsen biodiesel dalam negeri akan mengadukan keputusan dumping Uni Eropa kepada Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Laporan ke WTO dilakukan jika sanggahan antidumping biodiesel ditolak Komisi Uni Eropa.

Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) berharap pemerintah bisa bekerjasama  dengan asosiasi menyelesaikan masalah itu. Selain menghadapi bea masuk antidumping, produsen biodiesel Indonesia juga menghadapi tudingan subsidi.

Rencananya keputusan tudingan subsidi akan diumumkan Komisi Eropa pada Agustus 2013. Jika tudingan itu terbukti maka produsen biodiesel juga terancam penerapan bea masuk antisubsidi.


Paulus bilang tudingan dumping dan subsidi merupakan bentuk proteksi Uni Eropa untuk menahan biodiesel impor. "Kalau antisubsidi yang dikenakan seharusnya pemerintah bukan pengusaha," katanya, akhir pekan lalu.

Eropa sendiri telah meminta informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bea Cukai untuk mengetahui jumlah ekspor dan pajak biodiesel. Eropa menganggap pemberlakukan Harga Patokan Ekspor (HPE) membuat produk biodiesel Indonesia lebih murah.

Paulus bilang harga biodiesel minyak sawit atau crude palm oil (CPO) jauh lebih murah dibandingkan dari rapeseed. Selisih harga dua produk itu bisa mencapai US$ 200 per ton.  

Seperti diketahui, Uni Eropa telah mengenakan bea masuk antidumping sebesar 2,8%-9,6% kepada sejumlah perusahaan Indonesia, seperti PT Musim Mas, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Wilmar Nabati Indonesia, Wilmar Bioenergi Indonesia.

Dengan kontribusi 95% total ekspor biodiesel Indonesia, pengenaan antidumping pada perusahaan itu membuat kinerja ekspor biodiesel anjlok. Bea masuk tambahan membuat daya saing biodiesel tidak kompetitif harga lebih tinggi US$ 85-US$ 90 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa