Pebisnis cemas soal kebijakan lelang gula



KONTAN.CO.ID - Secara mengejutkan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mewajibkan lelang gula rafinasi pada 1 Oktober 2017. Sebelumnya, kewajiban yang sedianya berlaku 15 Juni 2017 itu ditunda tanpa batas waktu lantaran protes pengusaha menguar.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan, wajib lelang gula rafinasi kembali dilakukan lantaran hasil evaluasi kebijakan ini bisa jalan. Makanya, "Soft launching perdagangan gula kristal rafinasi sudah dilakukan secara voluntary," ujar Bachrul, kepada KONTAN, Jumat (8/9).

Tak pelak, protes kembali menhujam. Utamanya datang dari pengusaha makanan minuman. "Tata niaga baru gula rafinasi akan menambah mata rantai dan biaya transaksi pembelian gula," ujar Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Asrim Triyono Pridjosoesilo.


Tata niaga ini berpotensi membuat harga gula rafinasi industri makan dan minuman naik 15% hingga 30%. Ini akan berdampak ke harga produk akhir makanan minuman. Kenaikan harga makanan dan minuman akan lebih tinggi jika komponen gula dalam produk makanan dan minuman lebih besar. Triyono mencontohkan, dalam produk sirup komponen gula mencapai 60% sampai 75%, ada potensi kenaikan biaya produksi 22,5%.

Apalagi berdasarkan informasi yang diterima ASRIM, ada biaya transaksi lelang gula sebesar Rp 85.000 per ton bagi kontrak yang sudah berjalan dan Rp 100.000 per ton bagi spot order. "Semua biaya ini dibebankan ke industri pengguna." ujar Triyono masygul.

Lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.16/ 2017, pemerintah mewajibkan transaksi atau jual beli gula rafinasi bagi industri makanan dan minuman wajib melalui pasar lelang.

Adapun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 684/2017 yang diteken 12 Mei 2017, PT Pasar Komoditas Jakarta menjadi satu-satunya penyelenggara lelang gula rafinasi. Ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya, impor gula dilakukan industri raw sugar. Industri makanan dan minuman membeli gula rafinasi dari para importir raw sugar itu.

Koordinator Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi (FLAIPGR) Dwiatmoko Setiono menambahkan, lelang gula rafinasi tak menyelesaikan masalah rembesan gula rafinasi ke gula kristal putih. Pasalnya, perbedaan harga mencolok antara keduanya. Gula kristal putih konsumsi dipatok harga Rp 12.500 per kg, sedang gula rafinasi Rp 10.000 per kg.

Kedua, dalih Mendag menciptakan keadilan harga pengusaha UKM juga disanksikan. Sebab, penyelenggara lelang mensyaratkan transaksi minimum satu ton dengan pengiriman minimal 25 ton. "Ini jadi kendala UMKM karena akan ada distributor. Kehadiran distributor membuka potensi rembesan," katanya. Lagipula, kebutuhan UMKM tak banyak.

Lantas kebijakan ini untuk siapa? Jika benar untuk mengatasi rembesan yang klaimnya Mendag 200.000 ton, volume ini tak sampai 10% dari volume perdagangan gula rafinasi sekitar 3 juta ton.

Pengusaha berharap, pemerintah bijak. Jangan sampai tujuan membantu pengusaha UMKM justru mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Suka tidak suka, harga makanan dan minuman akan naik tergantung biaya gula. Makanya, "Sampai saat ini masih negosiasi dengan Kemdag atas biaya transaksi," ujar Ketua GAPMI Adhi Lukman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dessy Rosalina