MAKASSAR. Dengan sorot mata tajam, Nanna Pasinringi berbicara cepat dibarengi intonasi kuat. Dia adalah salah satu peserta dalam kegiatan Sosialisasi Pasar Modal di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Selasa (12/4) lalu. Perempuan ini menceritakan, betapa masih rendahnya pemahaman pasar modal di kalangan masyarakat, khususnya lingkungan terdekatnya di institusi pendidikan. Bagi Nanna, pasar modal bukanlah hal baru. Dia sudah mengenal cukup baik. Maklumlah, Nanna adalah seorang dosen pengajar pada mata kuliah pasar modal di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar. "Saya pengajar, tapi saya melihat untuk kelas pasar modal sejak 2010 masih sepi," terang Nanna usai mengikuti sosialisasi. Padahal, kebutuhan orang yang ahli di bidang tersebut masih cukup besar di kota metropolitan Indonesia Timur itu. Namun kesempatan itu belum disadari banyak mahasiswa di kampusnya. "Jangankan orang awam, untuk pengusaha saja masih harus perlu sosialisasi dan enggak cuma satu kali," terang dia.
Selain menjadi dosen, Nanna adalah Komisaris PT Agrima Pare Perdana, sebuah perusahaan di bidang properti. Dia sengaja hadir di acara sosialisasi ini untuk mencari tahu, bagaimana sebuah perusahaan bisa masuk bursa saham. Nanna punya mimpi bisa membawa perusahaan keluarganya itu menjadi perusahaan publik. "Perusahaan ini peninggalan ayah saya," terang perempuan yang juga bermain
trading saham
online ini. Oleh karena itu, tak heran bila dia yang tergabung bersama 250 pengusaha lokal Sulawesi Selatan mengikuti sosialisasi pasar modal. Pengusaha yang hadir sama-sama ingin mencari informasi tentang fasilitas pendanaan di pasar modal. Meski sudah mengikuti sosialisasi, dia belum cukup puas. Masih ada pertanyaan dalam dirinya yang belum terjawab. Butuh pemahaman Dari pantauan KONTAN, banyak perusahaan daerah yang sejatinya ingin menggunakan fasilitas pasar modal. Hanya saja, mereka masih membutuhkan pemahaman lebih lanjut terkait proses administrasi
initial public offering (IPO). Selain proses administrasi, perlu juga
mindset yang tepat terhadap perusahaan yang ingin IPO. Sebab, tak jarang orang masih beranggapan, menjual saham perusahaan sendiri merupakan perbuatan yang tabu. Padahal IPO bisa membuat bisnis makin melaju. Cukup banyak pengusaha lokal yang ingin membesarkan bisnisnya lewat IPO. Misalnya di bidang pertanian. "Saya fokus di kopi lokal, beberapa sudah menyediakan produk untuk eksportir," ujar Jufri Rombe, CEO PT Karurung. Dia mendapat kopi yang disuplai dari Toraja dan Enrekang dengan jenis Arabica. Dalam setahun, dia melayani pemesanan 10-20 kontainer, dengan isi per kontainer 18 ton-21 ton. Menurut Jufri, angka itu masih kecil. Dia ingin mengembangkan pasar dan memperkokoh manajemen sebelum IPO
. "Impian
go public itu ada," imbuh dia. Kesempatan serupa juga dimanfaatkan perusahaan Travel Umroh dan Haji Camar Group. Manajemen ingin membesarkan usaha lewat IPO. "Saat ini kami sudah ada cabang di beberapa kota," terang Muhammad Lukman, Direktur PT Cahaya Mandiri Rinjani Wisata. Dia akan membesarkan aset dengan membuka cabang baru. Jika IPO, Lukman optimistis pasarnya akan lebih luas lagi. Bukan hanya di domestik, pihaknya juga menjangkau pasar
outbond dan mengundang wisatawan asing ke Indonesia. "Target kami lima tahun lagi bisa IPO," ujar Lukman. Pemerintah agaknya perlu bekerja lebih keras memperkenalkan pasar modal, khususnya di daerah. Sebab, saat ini masih banyak masyarakat belum mengenal dengan baik apa itu pasar modal.
Otoritas Jasa Keuangan juga melakukan pendalaman pasar. Otoritas tengah menyusun aturan untuk perusahaan dengan aset kecil dan menengah yang berniat IPO. "Kami juga koordinasikan dengan Kementerian Keuangan untuk urusan perpajakan," ujar Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK. Saat ini, OJK memiliki Peraturan OJK (POJK) Nomor IX C7 terkait Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. Menurut beleid ini, minimal aset UMKM yang bisa IPO sebesar Rp 100 miliar. OJK juga akan membagi jenis perusahaan, yakni skala menengah dan skala kecil. Nilai aset minimal perusahaan skala kecil akan diturunkan menjadi Rp 50 miliar. Sementara perusahaan dengan minimal aset Rp 100 miliar masuk skala menengah. "Kami sedang menyusun stimulus lain agar lebih menarik lagi. Misalnya tentang biaya pungutan," kata Nurhaida. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini