Pebisnis listrik cemaskan isu lingkungan dan emisi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI) cemas dengan berbagai isu lingkungan pada program 35.000 Megawatt (MW). Padahal program ini merupakan upaya jangka panjang negara untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat atawa elektrifikasi di seluruh pelosok Tanah Air.

Dalam catatan KONTAN, ada dua isu yang santer jadi perhatian. Pertama, tuntutan dari Koalisi Break Free Coal Indonesia, seperti Greenpeace Indonesia, Walhi, Jaringan Tambang (Jatam) yang meminta pemerintah menghentikan pembangunan Sembilan PLTU di Jawa-Bali.

Mereka berdalih, sembilan PLTU itu akan menyebabkan lonjakan cadangan pasokan setrum atawa reserve margin di Pulau Jawa. Jika semula reserve margin hanya sekitar 30%, naik menjadi 71%.


Kedua, rencana revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 21/2008 tentang Baku Mutu Emisi bagi Emisi Tidak Bergerak Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Di revisi itu, Kementerian LHK ingin menurunkan batas emisi sehingga membuat independent power producer (IPP) was-was. Maklum, semakin rendah emisi berarti mereka musti keluar ongkos gede pada investasi PLTU.

Karena itulah Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Ali Herman Ibrahim, berharap, ada dukungan lebih luas dari masyarakat untuk program 35.000 MW ini agar bisa jalan. Ia menyebutkan, kalaupun saat ini masih ada pembangunan pembangkit berbahan baku fosil seperti batubara, ini merupakan kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk positif dan negatifnya.

Menanggapi potensi kenaikan reserve margin dari sembilan PLTU, ia menandaskan kenaikan cadangan itu masih wajar. Reserve margin merupakan keseimbangan energimenyesuaikan kebutuhan masyarakat. "Penyediaan pembangkit harus mengikuti tumbuhnya demand. Demand ke depan harus diprediksikan dan termasuk komponen utama dalam perencanaan," ujarnya, Jumat (9/2).

Adapun mengenai baku mutu emisi yang akan direvisi oleh Kementerian LHK, Ali berharap pemerintah melibatkan perusahaan listrik swasta dalam pembahasan. Sebab kebijakan ini akan membebani pengusaha yang tengah membangun PLTU baru.

Pemerintah ingin mengurangi gas buang dari PLTU berupa gas sulfur dioksida dan nitrogen oksidan.

Dalam catatan Ali, untuk mengurangi emisi gas buang, dari PLTU, membutuhkan tambahan investasi karena harus membeli teknologi maupun biaya operasional. "Kira-kira investasi tambah 3%–5% dan biaya operasi tambah 1,5%," terangnya.

Menanggapi keluhan pengusaha Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Rahardjo Abu Manan menandaskan, setiap pembangunan pembangkit memiliki hitungan ekonomi dalam baku mutu emisi yang sudah sesuai. Hanya, ia tak merespon keinginan pengusaha yang minta dilibatkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini