JAKARTA. Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA), akhirnya membuka suara tentang Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) Nomor 15/3/DPM perihal pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank. Asosiasi keberatan terhadap aturan tersebut, karena berpotensi mematikan bisnis pedagang valas atau money changer.Ada tiga hal keberatan asosiasi terhadap aturan tersebut. Pertama, penyampaian data konsumen money changer ke perbankan. Ini merugikan. Bank bisa saja mencuri konsumen money changer. "Kami dan bank sesama lembaga keuangan, seharusnya saling bersinergi. Bila data wajib diberikan ke pihak bank, sama saja mematikan kami," ujar Ketua Asosiasi Pedagang Valas, Idrus Muhamad, akhir pekan lalu.Kedua, pembatasan maksimum pembelian valas US$ 100.000 per bulan oleh money changer. Mereka menilai, aturan ini bisa menghambat potensi ekspansi money changer. Artinya, jika tiba-tiba nasabah membutuhkan dana di atas US$ 100.000, money changer tidak bisa memenuhi dan nasabah akan lari ke bank.Ketiga, dalam aturan tersebut money changer seolah-olah sebagai tempat spekulan pasar valas bermain. Padahal, transaksi jual beli yang dilakukan money changer masih jauh lebih kecil ketimbang bank, sehingga tidak mungkin bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar.Idrus menegaskan, alasan spekulasi sulit diterima. Alasannya, money changer juga menerapkan manajemen risiko dengan hati-hati saat membeli valas yang akan dijual. "Kami harus memperhitungkan berapa harga kurs besok, hal ini juga berat," jelasnya.strong>Harmonisasi aturanLantaran ada potensi penurunan bisnis, asosiasi mengusulkan peningkatan sinergi antara bank dengan money changer. Asosiasi pedagang valas mengusulkan, money changer menjadi perpanjangan tangan bank. Maklum, money changer lebih mudah di jumpai, seperti mall. Jam operasional juga lebih fleksibel, seperti tetap beroperasi di akhir pekan.Direktur Kepala Grup Hubungan Masyarakat BI, Difi Ahmad Johansyah, mengungkapkan beleid tersebut untuk menyetarakan atau harmonisasi peraturan antara pihak perbankan dengan money changer. "Selama ini, peraturan underlying tersebut sudah ada di bank dan hal ini diberlakukan juga untuk money changer," ujarnya.Difi menilai, batas maksimum pembelian mencapai US$ 100.000 sudah tepat. Banyak transaksi money changer dibawah US$ 100.000 per bulan. Selain itu, bila money changer terlalu banyak menyimpan dana di brankas lalu terjadi perampokan, pemilik yang dirugikan.Informasi saja, penerbitan aturan pembelian valas merupakan salah satu cara bank sentral guna mencegah aksi spekulasi valas. Saat ini suplai valas di pasar masih terbatas ,sementara kebutuhannya besar. Tanpa pencegahan, rupiah bisa terkapar karena ulah para spekulan. Dampak aturan ini paling terasa pada bisnis money changer, sementara pada perbankan sangat minim. Transaksi money changer diperkecil dan hanya boleh melakukan transaksi fisik.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pedagang Valas Ajukan Tiga Poin Keberatan
JAKARTA. Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA), akhirnya membuka suara tentang Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) Nomor 15/3/DPM perihal pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank. Asosiasi keberatan terhadap aturan tersebut, karena berpotensi mematikan bisnis pedagang valas atau money changer.Ada tiga hal keberatan asosiasi terhadap aturan tersebut. Pertama, penyampaian data konsumen money changer ke perbankan. Ini merugikan. Bank bisa saja mencuri konsumen money changer. "Kami dan bank sesama lembaga keuangan, seharusnya saling bersinergi. Bila data wajib diberikan ke pihak bank, sama saja mematikan kami," ujar Ketua Asosiasi Pedagang Valas, Idrus Muhamad, akhir pekan lalu.Kedua, pembatasan maksimum pembelian valas US$ 100.000 per bulan oleh money changer. Mereka menilai, aturan ini bisa menghambat potensi ekspansi money changer. Artinya, jika tiba-tiba nasabah membutuhkan dana di atas US$ 100.000, money changer tidak bisa memenuhi dan nasabah akan lari ke bank.Ketiga, dalam aturan tersebut money changer seolah-olah sebagai tempat spekulan pasar valas bermain. Padahal, transaksi jual beli yang dilakukan money changer masih jauh lebih kecil ketimbang bank, sehingga tidak mungkin bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar.Idrus menegaskan, alasan spekulasi sulit diterima. Alasannya, money changer juga menerapkan manajemen risiko dengan hati-hati saat membeli valas yang akan dijual. "Kami harus memperhitungkan berapa harga kurs besok, hal ini juga berat," jelasnya.strong>Harmonisasi aturanLantaran ada potensi penurunan bisnis, asosiasi mengusulkan peningkatan sinergi antara bank dengan money changer. Asosiasi pedagang valas mengusulkan, money changer menjadi perpanjangan tangan bank. Maklum, money changer lebih mudah di jumpai, seperti mall. Jam operasional juga lebih fleksibel, seperti tetap beroperasi di akhir pekan.Direktur Kepala Grup Hubungan Masyarakat BI, Difi Ahmad Johansyah, mengungkapkan beleid tersebut untuk menyetarakan atau harmonisasi peraturan antara pihak perbankan dengan money changer. "Selama ini, peraturan underlying tersebut sudah ada di bank dan hal ini diberlakukan juga untuk money changer," ujarnya.Difi menilai, batas maksimum pembelian mencapai US$ 100.000 sudah tepat. Banyak transaksi money changer dibawah US$ 100.000 per bulan. Selain itu, bila money changer terlalu banyak menyimpan dana di brankas lalu terjadi perampokan, pemilik yang dirugikan.Informasi saja, penerbitan aturan pembelian valas merupakan salah satu cara bank sentral guna mencegah aksi spekulasi valas. Saat ini suplai valas di pasar masih terbatas ,sementara kebutuhannya besar. Tanpa pencegahan, rupiah bisa terkapar karena ulah para spekulan. Dampak aturan ini paling terasa pada bisnis money changer, sementara pada perbankan sangat minim. Transaksi money changer diperkecil dan hanya boleh melakukan transaksi fisik.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News