KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) melaporkan total penilaian penerbitan surat utang dari sektor keuangan sebesar Rp 42,83 triliun selama Januari-Juli 2024. Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin menjelaskan, penerbitan surat utang dari sektor keuangan itu sebagian besar berasal dari industri multifinance yang mencakup sekitar 42,06%. Kemudian sisanya berasal dari industri perbankan sebesar 20,07%, Lembaga Keuangan Khusus sebesar 19,38%, dan pembiayaan non-multifinance sebesar 10,64%.
Baca Juga: Lakukan Penilaian Kesehatan Perusahaan, Citilink Raih Peringkat idBBB- dari PEFINDO Angka penerbitan surat utang di sektor keuangan masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterbitkan oleh sektor non-keuangan yang mencapai Rp 41,49 triliun di periode yang sama. Adapun jika dibandingkan dengan yang direalisasikan pada sepanjang tahun 2023, persentase penerbitan di sektor jasa keuangan tersebut sebesar 61,34% dari apa yang terealisasi selama setahun penuh di tahun lalu. Dengan kata lain, masih ada kekurangan Rp 26,99 triliun untuk menyamai penerbitan di tahun lalu. "Kami melihat bahwa angka realisasi penerbitan surat utang di tahun ini masih belum tumbuh tinggi. Lingkungan bunga tinggi yang ternyata masih terus dipertahankan berdampak berdampak pada biaya dana, yang mana menjadi mahal," kata Nasrudin kepada Kontan, Senin (26/8). Selain itu, suku bunga tinggi juga melemahkan permintaan di sektor riil, yang mana pada akhirnya berdampak negatif terhadap permintaan jasa keuangan.
Baca Juga: Kondisi Keuangan Sehat dengan Prospek Pasar Kuat, Pefindo Kerek Peringkat SIG Sebagai hasilnya, perusahaan di sektor keuangan melihat prospek permintaan mereka melemah, mendorong mereka untuk mengurangi pendanaan dari pasar surat utang. Sehingga, kebutuhan untuk menerbitkan obligasi saat ini tidak tinggi, lantaran pertumbuhan bisnis tidak setinggi seperti yang diperkirakan di awal tahun. Di industri perbankan misalnya, Nasrudin menilai, meski mulai menghadapi likuiditas yang lebih ketat, mereka masih tetap tidak terburu-buru dalam mencari alternatif sumber pendanaan. Perbankan masih memilih mengandalkan dana pihak ketiga, ketimbang mencari pendanaan eksternal, seperti menerbitkan obligasi karena alasan yang lebih murah. "Kalau menurut saya, tren penerbitan ke depan akan sangat tergantung pada seberapa cepat suku bunga kembali ke level normal rendah, yang mana akan mempengaruhi seberapa cepat biaya dana turun," tuturnya. Nasrudin juga menilai pasokan surat utang pemerintah akan cenderung lebih besar ke depannya. Sejauh ini, pemerintah cenderung konservatif dalam menerbitkan surat utang dan menyatakan akan lebih banyak memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk pendanaan pembangunan yang akan mereka lakukan. Dari target penerbitan sebesar sebesar Rp 666,4 triliun di tahun 2024, realisasinya baru sebesar Rp 253,00 triliun hingga Juli 2024. Adapun di tahun depan, PEFINDO melihat penerbitan surat utang oleh pemerintah masih akan besar mengingat nominal jatuh tempo yang besar, mencapai Rp 722,50 triliun. Pemerintah juga mengasumsikan yield 10 tahun sebesar 7,1%.
"Jadi, di satu sisi, suku bunga diperkirakan akan mulai dipangkas ke depan seiring pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia. Di sisi lain, pasokan baru surat utang menjadi faktor negatif karena tingginya pasokan berdampak pada yield," tambah Nasrudin. Sebagai hasilnya, yield obligasi korporasi mungkin akan menjadi lebih sulit untuk turun sehingga berdampak pada biaya penerbitan. Namun efek dari kekakuan tersebut terhadap penerbitan surat utang akan sangat tergantung pada prospek permintaan. Hingga Juli 2024, PEFINDO memperoleh mandat pemeringkatan sebesar Rp 14,62 triliun dari sektor keuangan. Nasrudin berharap semuanya bisa terealisasi hingga akhir tahun ini, jika terealisasi maka jika maka kemungkinan penerbitan dari sektor keuangan akan mencapai Rp 57,45 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli