KONTAN.CO.ID - DW. Gedung-gedung perkantoran tinggi di Jakarta adalah satu hal yang memukau Kariem El-Ali yang berusia 38 tahun. Ini tidak banyak ditemukan di Berlin. Sejak awal Februari, ia bekerja di salah satu gedung perkantoran tinggi di pusat kota Jakarta, tepatnya di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi DKI Jakarta. Kariem bekerja di Jakarta sebagai Tenaga Ahli Terintegrasi dari Center for International Migration and Development (CIM), dan difasilitasi oleh GIZ, sebuah lembaga milik pemerintah Jerman untuk kerja sama Internasional Kementerian Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Federal BMZ. Selama satu tahun lelaki tamatan jurusan ekonomi ini akan menjadi penghubung Berlin dan Jakarta untuk saling bertukar pengalaman dengan tujuan mengembangkan konsep agar Jakarta menjadi kota pintar yang lebih menitikberatkan kenyamanan hidup warganya, lebih efisien dan lebih ramah lingkungan.
"Empat bulan pertama saya dialokasikan untuk mengobservasi, untuk mengidentifikasi kebutuhan serta keinginan dari Pemprov. DKI Jakarta,” ujar Kariem El-Ali. "Saya ditugaskan untuk mengembangkan sebuah rencana aksi terkait konsep Kota Pintar, serta memberikan dukungan dalam menerapkan rencana menyeluruh di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT),” lanjutnya. Ini antara lain akan dilakukan dengan memberi sejumlah contoh yang sudah berfungsi dengan baik di Berlin. Dalam beberapa tahun terakhir Berlin menjadi kota yang terkenal karena banyaknya startup kreatif yang turut membangun kehidupan kota yang lebih nyaman dengan beragam inovasi baik dalam bidang teknologi maupun pelayanan. Mengelola proyek kolaborasi dari Uni Eropa Selain itu Kariem dan timnya juga mengajukan aplikasi yang telah disetujui oleh Komisi Uni Eropa untuk sebuah proyek segitiga antara Berlin, Bangkok dan Jakarta dalam bidang tata laksana kota yang baik. Dengan ini sejumlah pakar dari ketiga kota akan bersama-sama mengembangkan strategi dalam bidang Kota Pintar dan Kebijakan Kewiraswastaan, yang nantinya akan diteruskan ke gubernur DKI Jakarta sebagai anjuran, bagaimana ia bisa menerapkan politiknya. Sebuah program akselerator dalam bidang mobilitas dan lingkungan hidup di Kota Pintar juga akan dimulai, dengan mengikutsertakan sebuah ruang kerja bersama. Di sini antara lain startup-startup yang bertema lingkungan bisa mendapat pelatihan selama 11 bulan, bagaimana mereka bisa membangun perusahaan dan memasarkan produk-produknya. Program yang didanai Uni Eropa ini rencananya akan dimulai September mendatang dan akan berlangsung selama tiga tahun. Kariem El-Ali yang juga berpengalaman dalam bidang startup akan mengelola program ini selama masa kerjanya di Jakarta dan juga setelah kembali ke Berlin. "Startup penting bagi Jakarta, karena dengan ini warga yang berusia muda mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk masuk ke pasar kerja, mengembangkan produk dan layanan baru untuk mengubah kota ini menjadi lebih baik,” papar Kariem. Rutinitas kantor yang mirip dengan di Berlin Walaupun Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dengan Jerman, menurut Kariem yang di Berlin bekerja untuk Dinas Perekonomian dan Energi, bekerja di Jakarta tidak terlalu berbeda dengan di kota asalnya. Lingkungan kerja dinilainya cukup formal dan mempunyai jam kerja yang tetap, sama seperti di Berlin. Di kantornya di Jakarta ia sering menggunakan Bahasa Inggris karena Kariem belum terlalu fasih berbahasa Indonesia. Tetapi ia mengaku bisa mengerti konteks banyak pertemuan yang dilakukan dalam Bahasa Indonesia. Ia juga mengambil kursus Bahasa Indonesia sebanyak 3-4 kali per minggu Pria berdarah Palestina-Jerman ini juga mengaku terkesan dengan sejumlah proses kerja yang di Jakarta dilihatnya jauh lebih cepat berjalan daripada di Berlin, misalnya perekrutan staf baru yang selesai dalam waktu tiga minggu saja dari pengiklanan lowongan kerja, pemilihan dan wawancara, sampai staf baru mulai kerja. Di Berlin hal seperti ini menurut pengalamannya membutuhkan waktu sangat lama.
Menikmati tinggal di Jakarta Sebelum penugasan di Jakarta, Kariem juga sudah berkali-kali hidup di luar negeri, seperti ketika berkuliah di Warsawa dan bekerja di Mesir, Yordania dan Arab Saudi. Ia juga sudah berulang kali dinas ke Indonesia, sehingga sudah cukup familiar dengan situasi Jakarta ketika datang awal tahun ini. Yang tetap mengejutkannya adalah betapa banyaknya hal bertentangan yang ada di kota besar ini dan padatnya lalu lintas. Namun sekarang Kariem bisa menggunakan MRT dan hanya membutuhkan sekitar 20-30 menit dari tempat tinggalnya ke kantor. "Banyak aspek yang dipermudah bagi hidup saya di Jakarta,” ujarnya ketika ditanya apakah Kariem menikmati tinggal di Jakarta. Selain gemar menggunakan metode pembayaran online yang kian populer di Jakarta, ia juga sering menggunakan ojek online. "Ketika sedang bertemu teman saya di Berlin, ia ketinggalan kunci rumahnya di rumah teman. Seandainya kami berada di Jakarta, kami tinggal mencari supir ojek dan ia akan mengambil kuncinya,” ceritanya dengan senyum. Setelah tiga bulan bekerja di Jakarta, Kariem El-Ali belum begitu merindukan Berlin. Tetapi dalam penugasan singkat kembali ke kota asalnya di musim semi lalu, ia mengaku senang bisa menghirup udara segar dan bisa duduk-duduk di luar tanpa suasana yang terlalu ramai.
Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti