Pekan depan, minyak berpeluang ke US$ 85 sebarel



JAKARTA. Harga minyak mentah terkoreksi selama sepekan terakhir. Pemicunya yaitu spekulasi China meredam inflasi. Hal itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan bahan bakar di negara pengonsumsi energi terbesar kedua di dunia itu.

Koreksi semakin dalam, saat China menaikkan rasio modal perbankan pada Jumat (10/12) malam. Phil Flynn, analis dan pedagang dari PFGBest di Chicago, seperti dikutip Bloomberg, menyebut pasar cemas China akan melanjutkan dengan menaikkan suku bunganya di pekan depan.

Hingga Jumat (10/12), minyak mentah untuk kontrak pengiriman Januari di Pasar NYMEX-AS terkoreksi ke US$ 87,79 per barel, dari akhir pekan lalu (3/12) di US$ 89,19 sebarel.


Pekan depan, mayoritas analis hasil survei Bloomberg memprediksi minyak masih berpotensi turun. Mereka menyebut kecemasan pengetatan moneter di China masih akan berlanjut dan melemahkan sentimen di pasar minyak.

Adapun, analis Askap Futures, Ibrahim melihat peluang minyak terkoreksi ke level US$ 85 sebarel, jika China jadi menaikkan bunganya.

Namun, lanjutnya, kejatuhan tidak akan lama, bahkan tetap ada peluang menguat ke US$ 90 per barel di pekan depan. Faktor pendorongnya yaitu permintaan yang tinggi menjelang natal dan tahun baru, dibarengi musim dingin di mana warga Eropa dan AS membutuhkan minyak lebih besar.

Meski begitu, Ibrahim memperkirakan kecil peluang emas hitam ini menembus US$ 100 di tahun ini, karena faktor pengetatan moneter China agak menghambat laju minyak.

"OPEC juga menyebut tidak akan menambah kuota minyak selama harganya tidak ke US$ 100, " ujar Ibrahim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini