JAKARTA. Produsen minyak sawit mentah (CPO) terpapar ancaman ganda. Selain permintaan masih melemah, kini asap pekat tengah menggelayuti bisnis sawit domestik. Kasus kebakaran lahan di sejumlah titik di Sumatera dan Kalimantan menyudutkan sejumlah pekebun sawit. Sudah ada pemain besar yang menerima gugatan. Salah satunya adalah PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Pada 20 Oktober 2015, PT National Sago Prima (NSP), anak usaha SGRO, digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH).
KLH mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap NSP sehubungan peristiwa kebakaran yang menimpa lahan konsesi milik NSP. Kebakaran itu terjadi pada akhir Januari 2014 hingga pertengahan Maret 2014. Penggugat meminta NSP membayar ganti kerugian lingkungan hidup Rp 319 miliar dan biaya pemulihan lingkungan Rp 754 miliar. "Jika gugatan itu dikabulkan, maka akan berdampak negatif secara material dan signifikan bagi NSP dan SGRO," ujar Eris Ariaman, Corporate Secretary SGRO, dalam keterbukaan informasi, Kamis (22/10) lalu. Produsen CPO lainnya, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga terpapar kabut asap. Sebanyak 11 area lahan milik anak usaha ANJT, PT Kayung Agro Lestari (KAL), di Ketapang, Kalimantan Barat, terbakar. Luas lahan terbakar setara 356 hektare (ha). Kepolisian setempat menetapkan KAL sebagai tersangka. Kemudian, lahan seluas 239 ha milik PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) di Jambi dan Kalimantan Tengah pun tak luput dari asap. Beruntung, kebakaran yang menyambar lahan itu bisa segera dipadamkan sehingga perseroan bisa berkelit dari gugatan. Analis MNC Securities Yosua Zisokhi menilai, kasus hukum bisa mengganggu kinerja keuangan produsen CPO. Tapi, hal ini bukan masalah besar jika di belakang perusahaan ada nama besar. Apalagi sawit adalah salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Namun dalam jangka panjang, kasus kebakaran bisa mempengaruhi kinerja emiten sawit. "Ini terkait permintaan ekspor," ungkap Yosua. India dan Uni Eropa merupakan importir produk sawit terbesar di dunia. India bisa dikesampingkan karena prosedur sertifikasinya tak begitu ketat. Nah, Uni Eropa yang patut menjadi perhatian. Sertifikasi impor produk sawit di sana sangat ketat. Eropa melarang masuk produk sawit yang proses pembukaan lahannya dilakukan melalui pembakaran lahan. Risiko emiten SMAR berpotensi terpapar risiko paling besar terkait hal ini. Sebab, mereka banyak mengekspor produk turunan sawit. Tapi, bukan berarti pemain lain bisa terbebas dari dampak negatif. SGRO dan ANJT memang banyak memproduksi sawit dalam bentuk mentah, bukan produk turunan. Harga jualnya memang lebih rendah dan mereka banyak menjualnya ke pemain yang sudah terbiasa mengolah produk turunan sawit seperti SMAR. Masalah lainnya adalah, pekatnya asap membuat proses fotosintesis pohon sawit menjadi kurang maksimal lantran sinar matahari terhalang asap. Alhasil, kualitas sawit yang dihasilkan pun buruk. "Kalau dari awal kualitasnya sudah buruk, pasti nanti produk turunannya juga ikut buruk," tutur Yosua. Untuk jangka panjang, hal ini juga bisa mengganggu penjualan. Posisi tawar emiten sawit menjadi lemah. "Kredibilitas mereka berkurang," ujar Kiswoyo Adi Joe, analis Investa Saran Mandiri.
Kiswoyo pun sependapat jika asap bisa mengganggu produksi sawit. Bukan hanya soal kualitas, tapi kuantitas. Umumnya, puncak produksi sawit mulai di semester kedua. Sebesar 40% produksi terjadi pada semester pertama. Selebihnya 60% produksi pada semester kedua. "Kalau melihat kondisi seperti ini, produksi sawit hingga akhir tahun bisa turun 10% hingga 15%," ujar Kiswoyo. Belum lagi harga CPO masih rendah. Sejak awal tahun hingga pekan lalu (ytd), harga CPO di Bursa Malaysia sudah merosot 14,89%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie