Pekerja milenial jangan tunggu berinvestasi di puncak karier



KONTAN.CO.ID - Sudah hampir empat tahun bekerja sebagai karyawan swasta, Dian Hapsari tak kunjung berinvestasi. Padahal perempuan 26 tahun ini tahu betul, apa itu investasi.

Menurutnya, investasi sama seperti menabung, tapi untuk tujuan keuangan jangka panjang. Misalnya, untuk biaya pernikahan, pendidikan anak, dan masa pensiun.

Kalau hanya mengandalkan tabungan dengan bunga yang sangat mini, susah untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang itu. Cuma, Dian beralasan, dirinya sampai sekarang masih memikirkan risiko investasi.


Ini yang menghambat langkahnya untuk berinvestasi. “Belum menemukan produk investasi yang tepat untuk dijalani. Masih terlalu banyak mikir risiko. Takut salah pilih produk investasinya,” ujar dia beralasan.

Padahal, jujur, Dian tertarik berinvestasi reksadana. Banyak temannya yang berbagi informasi seputar reksadana.

Hanya, ia masih belum paham alur kerjanya seperti apa. “Masih takut kena tipu juga. Takut penyedianya bodong,” kata Dian.

Tentu, Dian enggak sendiri. Melvin Mumpuni, Perencana Keuangan Finansialku.com, menemukan fakta: delapan dari sepuluh karyawan milenial, yang lahir awal 1980 hingga pertengahan 1990, belum berinvestasi. Padahal, mereka sudah tahu manfaat investasi.

Menurut pengamatan Melvin, ada lima faktor yang membuat karyawan dari generasi Y masih enggan berinvestasi.

Pertama, modal besar. Masih banyak karyawan milenial yang menganggap investasi hanya untuk orang kaya lantaran butuh modal besar. Bahkan, sebagian dari mereka menyatakan, gajinya kecil sehingga susah jika mau berinvestasi.

“Justru karena gaji masih kecil maka harus menambah penghasilan. Investasi adalah satu dari tiga cara menambah penghasilan,” ujar Melvin.

Tahu tujuan

Kedua, risiko tinggi. Banyak karyawan milenial yang berpikir risiko investasi tinggi. Memang, sangat jelas, semua produk investasi punya risiko.

Namun, Melvin menegaskan, tidak berinvestasi pun tetap berisiko bagi generasi Y. Misalnya, enggak bisa mengejar tujuan keuangan jangka panjang.

Ketiga, investasi pasti rugi atau uang hilang. Padahal, Melvin bilang, jelas tidak seperti itu. Malah, ketika karyawan milenial mendiamkan uangnya di tabungan, akan berkurang nilainya akibat inflasi.

Maklum, bunga tabungan yang kecil kalah dengan laju inflasi. Sekalipun tahun lalu inflasi hanya berlari sejauh 3,61%, bunga tabungan masih di bawah, yakni di kisaran 1% saja.

Keempat, ada banyak biaya tambahan. Sebenarnya, Melvin menjelaskan, tidak semua produk investasi mengenakan biaya tambahan. Walaupun, sebagian besar memang memungut biaya administrasi, platform, data, dan lain sebagainya.

Kelima, uang dikunci atau tidak bisa diambil sewaktu-waktu. Pada kenyataanya, Melvin menyebutkan, banyak produk investasi yang bisa dicairkan sewaktu-waktu. Contoh, reksadana yang bisa dicairkan satu hari setelah Anda beli.

Nah, untuk mendorong karyawan milenial berinvestasi, Melvin berpendapat, mereka memang harus tahu lebih dulu tujuannya apa. Misalnya, biaya pernikahan atau pembayaran uang muka atawa down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR). Tujuan keuangan ini bisa mereka jadikan motivasi untuk berinvestasi.

Selanjutnya, pekerja milenial mesti meningkatkan pengetahuan mengenai produk-produk investasi untuk mengejar tujuan keuangan tersebut. Mereka kudu mencari tahu, untuk bisa meraih tujuan keuangan itu, dengan menggunakan produk investasi apa.

“Ibarat mau nge-gym, mereka yang mau mencoba berinvestasi harus punya personal trainner. Mereka bisa datang ke perencana keuangan,” imbuh Melvin.

Melvin mengingatkan, justru di tahun-tahun awal bekerja, karyawan milenial harus segera berinvestasi. Soalnya, jika sudah di puncak karier, mereka tidak bisa coba-coba lagi berinvestasi.

Walhasil, lebih baik jatuh di usia awal, ketimbang ketika sudah berada di puncak. “Usia di bawah 35 harusnya sudah mulai investasi. Usia 35 sampai 40 tahun sudah masuk akselerasi. Sekarang waktunya belajar,” saran Melvin.

Produk yang akrab

Memang, Safir Senduk, perencana keuangan independen, mengatakan, tidak mudah mengedukasi orang untuk berinvestasi. Bukan cuma karyawan milenial, mereka yang sudah usia dewasa saja sulit untuk diedukasi soal investasi.

“Investasi beda sama belanja. Belanja dapatnya di awal, sedangkan investasi dapat keuntungannya di akhir. Tapi, semakin cepat berinvestasi, hasilnya akan semakin besar,” kata dia.

Cuma, Safir mengungkapkan, ada dua faktor yang membuat orang mau berinvestasi.

Pertama, investasi untuk mencapai dana tertentu. Misalnya, ingin melanjutkan kuliah untuk meraih gelar master. Alhasil, seseorang bakal gencar berinvestasi untuk bisa memperoleh dana pendidikan pada tahun yang ditetapkan.

Kedua, investasi buat meningkatkan kekayaan.

Yang tidak memiliki target atau tujuan keuangan, jelas mereka sulit untuk diedukasi tentang investasi. “Biasanya, orang mau berinvestasi jika ada keperluan darurat atau target di depan mata. Kalau tidak ada, akan sulit,” sebut Safir.

Nah, Safir punya beberapa tip bagi karyawan milenial yang mau memulai berinvestasi.

Satu, investasikan uang di tempat yang akrab di telinga para pekerja milenial. Contohnya, taruh duit di bank lewat deposito. Meski bunganya masih terbilang kecil, mereka mulai belajar berinvestasi.

Dua, bisa mulai berinvestasi di emas. Tentu, semua karyawan milenial mengetahui soal emas. Hanya biasanya, yang mereka tahu emas adalah emas perhiasan.

Padahal, emas yang baik untuk investasi adalah emas batangan atau lantakan. Ambil contoh, Logam Mulia produksi PT Antam Tbk.

Tiga, perlu edukasi bahwa untuk berinvestasi bisa dimulai dari dana yang sedikit dulu. “Kita bisa mulai berinvestasi ketika sudah mendapatkan pemasukan. Entah itu dari uang saku atau penghasilan dari awal bekerja,” tutur Safir.

Tapi, Safir menambahkan, usia ideal generasi milenial berinvestasi adalah ketika mereka mulai bekerja, di kisaran umur 22 –23 tahun.

Empat, biar langkah makin mantap, karyawan milenial bisa datang ke perencana keuangan untuk meminta masukan. Cuma, yang lebih penting sebetulnya ialah mendatangi customer service bank untuk meminta melakukan autodebit dari rekening, misalnya, untuk dimasukkan ke reksadana.

Jadi, tak ada alasan lagi buat Dian dan karyawan milenial lainnya untuk enggak memulai berinvestasi sejak dini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan