JAKARTA. Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya dinilai tidak sesuai dengan konsep tol laut yang diusung Presiden Joko Widodo. Praktisi kebijakan publik Fachry Ali menilai, dalam konsep tol laut seharusnya pemerintah mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa. Terutama, titik-titik yang menghubungkan antara ujung Sumatera hingga ujung Papua. Sedangkan di Jawa, tidak perlu ada lagi pelabuhan baru, melainkan cukup dengan mengembangkan dan meningkatkan pelabuhan yang sudah ada. Sebut saja Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Tanjung Priok Jakarta, dan Tanjung Perak Surabaya. Jika pengembangan dilakukan seperti itu, maka upaya untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah yang terpisah dengan laut menjadi sebuah jalur ekonomi yang efisien bisa tercapai. Sehingga konsep tol laut yang diharapkan bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan di Indonesia pun bisa diwujudkan. Namun jika memaksakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya, justru sangat tidak efisien. “Kebijakan ini yang saya sebut sebagai Jokowinomics. Yakni kebijakan pemerintah yang cenderung menjadi program belanja yang masif dan ekspansif (massive and expansive spending program). Bukankah membangun Pelabuhan Cilamaya dari nol serta memiliki banyak kontroversi, membutuhkan energi lebih besar daripada mengembangkan yang sudah ada?” kata Fachry dalam siaran persnya kemarin. Menurut Fachry, pelabuhan Culamaya bukan hanya menjadikan koneksi jalan laut tidak efisien, tapi juga memiliki dampak buruk yang luar biasa. Mulai rusaknya pipa-pipa dan sumur-sumur minyak Pertamina hingga hilangnya peran Karawang sebagai penghasil beras nomor satu di Indonesia. Terlebih, hingga saat ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek tersebut pun masih bermasalah. Dalam konteks itulah, Fachry mempertanyakan sikap Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang sangat bersikukuh melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Padahal, di sisi berbeda, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Adrinof Chaniago sudah mengatakan, akan mengkaji ulang rencana pembangunan tersebut.
Pelabuhan Cilamaya belum sesuai konsep tol laut
JAKARTA. Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya dinilai tidak sesuai dengan konsep tol laut yang diusung Presiden Joko Widodo. Praktisi kebijakan publik Fachry Ali menilai, dalam konsep tol laut seharusnya pemerintah mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa. Terutama, titik-titik yang menghubungkan antara ujung Sumatera hingga ujung Papua. Sedangkan di Jawa, tidak perlu ada lagi pelabuhan baru, melainkan cukup dengan mengembangkan dan meningkatkan pelabuhan yang sudah ada. Sebut saja Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Tanjung Priok Jakarta, dan Tanjung Perak Surabaya. Jika pengembangan dilakukan seperti itu, maka upaya untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah yang terpisah dengan laut menjadi sebuah jalur ekonomi yang efisien bisa tercapai. Sehingga konsep tol laut yang diharapkan bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan di Indonesia pun bisa diwujudkan. Namun jika memaksakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya, justru sangat tidak efisien. “Kebijakan ini yang saya sebut sebagai Jokowinomics. Yakni kebijakan pemerintah yang cenderung menjadi program belanja yang masif dan ekspansif (massive and expansive spending program). Bukankah membangun Pelabuhan Cilamaya dari nol serta memiliki banyak kontroversi, membutuhkan energi lebih besar daripada mengembangkan yang sudah ada?” kata Fachry dalam siaran persnya kemarin. Menurut Fachry, pelabuhan Culamaya bukan hanya menjadikan koneksi jalan laut tidak efisien, tapi juga memiliki dampak buruk yang luar biasa. Mulai rusaknya pipa-pipa dan sumur-sumur minyak Pertamina hingga hilangnya peran Karawang sebagai penghasil beras nomor satu di Indonesia. Terlebih, hingga saat ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek tersebut pun masih bermasalah. Dalam konteks itulah, Fachry mempertanyakan sikap Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang sangat bersikukuh melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Padahal, di sisi berbeda, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Adrinof Chaniago sudah mengatakan, akan mengkaji ulang rencana pembangunan tersebut.