JAKARTA. Keberadaan pelabuhan terminal khusus batubara dinilai masih belum diperlukan. Pasalnya, hal itu akan membebani pelaku usaha terkait masalah penambahan biaya angkutan. Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), Irwandy Arif menilai penetapan terminal khusus ekspor batubara belum diperlukan selama pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap pelabuhan yang selama ini sudah beroperasi berjalan optimal. Sebabnya, banyak terjadi kebocoran ekspor batubara akibat pengawasan yang lemah di daerah. Selain itu, banyak juga terminal yang tak berizin melakukan penjualan secara ilegal "Pertanyaannya apakah tepat (menetapkan pelabuhan khusus batubara)? Sudah adakah studi komprehensif?," katanya kepada KONTAN, Selasa (5/1). Dia menilai pemerintah memang akan lebih mudah dalam melakukan kontrol. Namun, dikhawatirkan pengusaha justru terbebani dengan kebijakan tersebut. Yang paling mungkin dirasakan oleh para pengusaha kata Irwandy, adalah tambahan biaya pengangkutan dari tambang menuju pelabuhan. Sebab, selama ini mereka cenderung memilih pelabuhan yang jaraknya dekat. "Selain biaya transportasi, mereka bisa juga kena penalti keterlambatan pengapalan bila harus antri. Padahal, keadaan saat ini margin mereka sudah tipis dan malah ada yang rugi," ujarnya. Meskipun begitu, dia juga mengingatkan agar perusahaan-perusahaan batubara senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance untuk menekan praktik ilegal dalam kegiatan ekspor. Adapun pada tahun lalu pemerintah telah meresmikan pembangunan pelabuhan induk dan pengolahan batubara milik PT Asiatic Universal Indonesia di Muara Badak dan Merangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pembangunan ditargetkan selesai dalam jangka waktu dua tahun dengan investasi senilai Rp 4 triliun. Rencananya, akan ada masing-masing tujuh pelabuhan khusus batubara di Sumatera dan Kalimantan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pelabuhan khusus batubara dinilai belum diperlukan
JAKARTA. Keberadaan pelabuhan terminal khusus batubara dinilai masih belum diperlukan. Pasalnya, hal itu akan membebani pelaku usaha terkait masalah penambahan biaya angkutan. Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), Irwandy Arif menilai penetapan terminal khusus ekspor batubara belum diperlukan selama pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap pelabuhan yang selama ini sudah beroperasi berjalan optimal. Sebabnya, banyak terjadi kebocoran ekspor batubara akibat pengawasan yang lemah di daerah. Selain itu, banyak juga terminal yang tak berizin melakukan penjualan secara ilegal "Pertanyaannya apakah tepat (menetapkan pelabuhan khusus batubara)? Sudah adakah studi komprehensif?," katanya kepada KONTAN, Selasa (5/1). Dia menilai pemerintah memang akan lebih mudah dalam melakukan kontrol. Namun, dikhawatirkan pengusaha justru terbebani dengan kebijakan tersebut. Yang paling mungkin dirasakan oleh para pengusaha kata Irwandy, adalah tambahan biaya pengangkutan dari tambang menuju pelabuhan. Sebab, selama ini mereka cenderung memilih pelabuhan yang jaraknya dekat. "Selain biaya transportasi, mereka bisa juga kena penalti keterlambatan pengapalan bila harus antri. Padahal, keadaan saat ini margin mereka sudah tipis dan malah ada yang rugi," ujarnya. Meskipun begitu, dia juga mengingatkan agar perusahaan-perusahaan batubara senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance untuk menekan praktik ilegal dalam kegiatan ekspor. Adapun pada tahun lalu pemerintah telah meresmikan pembangunan pelabuhan induk dan pengolahan batubara milik PT Asiatic Universal Indonesia di Muara Badak dan Merangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pembangunan ditargetkan selesai dalam jangka waktu dua tahun dengan investasi senilai Rp 4 triliun. Rencananya, akan ada masing-masing tujuh pelabuhan khusus batubara di Sumatera dan Kalimantan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News