JAKARTA. Sebanyak 102 pelabuhan yang beroperasi di Indonesia dinilai terlalu padat untuk melayani sekitar 237 juta penduduk. Wakil Ketua Indonesia National Shipowners' Association (INSA), Asmari Herry menuturkan, rasio jumlah penduduk dibanding pelabuhan di Indonesia sama dengan 0,3 juta orang per pelabuhan. Dengan kata lain setiap satu pelabuhan dipadati oleh 300.000 orang. Ini jauh lebih padat dibanding Filipina dan Jepang. Rasio jumlah penduduk dan pelabuhan di kedua negara sama dengan 0,11 juta orang per pelabuhan. Dengan kata lain setiap satu pelabuhan hanya dipadati oleh 110.000 orang. "Dibandingkan dengan rata-rata jumlah bandara di Indonesia, jumlah pelabuhan lautnya sangat minim," kata Herry, di Jakarta, Senin (31/3/2014). Sementara itu, lanjut Herry, rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Indonesia sama dengan 2,93 kilometer persegi per pelabuhan. Ini jauh lebih rendah dibanding Filipina, dan Jepang. Rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Filipina sama dengan 0,46 kilometer persegi per pelabuhan. Adapun, rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Jepang sama dengan 0,34 kilometer persegi per pelabuhan. Konsep pembangunan pelabuhan di Indonesia yang dekat dengan permukiman pun menurut Herry, justru menambah kepadatan distribusi barang. Ini menyebabkan arus distribusi dari pelabuhan ke tempat tujuan barang tersendat. "Hampir semua pelabuhan kita kondisinya kurang bagus dan akses keluar pelabuhan yang kecil. Padahal akses keluarnya ini yang penting mempengaruhi armada darat bisa mendistribusikan barang ini. Hampir semua pelabuhan kita tidak mempunyai akses bagus karena ada di tengah kota," terang Herry. "Contohnya di Priok dibangun dekat dengan permukiman penduduknya kondisinya cukup padat sehingga dibutuhkan 6 jam mendistribusikan barang dari Priok ke Cikarang," katanya. Seharusnya, lanjut Herry, pembangunan pelabuhan di lokasi yang jauh dari permukiman, namun disiapkan pula akses jalan penghubung dengan sentra produksi. Bandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, di mana pelabuhan dibangun di lokasi yang jauh dari permukiman, namun memiliki akses distribusi seperti jalan raya atau kereta api dari sentra produksi. "Contohnya di Bangkok (Thailand) pelabuhan lamanya di tengah kota, sekarang jauh dari tengah kota dan dekat dengan sentra produksi. Vietnam juga sama seperti itu, Singapura juga sama," ujar Herry. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pelabuhan RI lebih padat dibanding Jepang
JAKARTA. Sebanyak 102 pelabuhan yang beroperasi di Indonesia dinilai terlalu padat untuk melayani sekitar 237 juta penduduk. Wakil Ketua Indonesia National Shipowners' Association (INSA), Asmari Herry menuturkan, rasio jumlah penduduk dibanding pelabuhan di Indonesia sama dengan 0,3 juta orang per pelabuhan. Dengan kata lain setiap satu pelabuhan dipadati oleh 300.000 orang. Ini jauh lebih padat dibanding Filipina dan Jepang. Rasio jumlah penduduk dan pelabuhan di kedua negara sama dengan 0,11 juta orang per pelabuhan. Dengan kata lain setiap satu pelabuhan hanya dipadati oleh 110.000 orang. "Dibandingkan dengan rata-rata jumlah bandara di Indonesia, jumlah pelabuhan lautnya sangat minim," kata Herry, di Jakarta, Senin (31/3/2014). Sementara itu, lanjut Herry, rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Indonesia sama dengan 2,93 kilometer persegi per pelabuhan. Ini jauh lebih rendah dibanding Filipina, dan Jepang. Rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Filipina sama dengan 0,46 kilometer persegi per pelabuhan. Adapun, rasio pelabuhan dibanding luas wilayah Jepang sama dengan 0,34 kilometer persegi per pelabuhan. Konsep pembangunan pelabuhan di Indonesia yang dekat dengan permukiman pun menurut Herry, justru menambah kepadatan distribusi barang. Ini menyebabkan arus distribusi dari pelabuhan ke tempat tujuan barang tersendat. "Hampir semua pelabuhan kita kondisinya kurang bagus dan akses keluar pelabuhan yang kecil. Padahal akses keluarnya ini yang penting mempengaruhi armada darat bisa mendistribusikan barang ini. Hampir semua pelabuhan kita tidak mempunyai akses bagus karena ada di tengah kota," terang Herry. "Contohnya di Priok dibangun dekat dengan permukiman penduduknya kondisinya cukup padat sehingga dibutuhkan 6 jam mendistribusikan barang dari Priok ke Cikarang," katanya. Seharusnya, lanjut Herry, pembangunan pelabuhan di lokasi yang jauh dari permukiman, namun disiapkan pula akses jalan penghubung dengan sentra produksi. Bandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, di mana pelabuhan dibangun di lokasi yang jauh dari permukiman, namun memiliki akses distribusi seperti jalan raya atau kereta api dari sentra produksi. "Contohnya di Bangkok (Thailand) pelabuhan lamanya di tengah kota, sekarang jauh dari tengah kota dan dekat dengan sentra produksi. Vietnam juga sama seperti itu, Singapura juga sama," ujar Herry. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News