Pelajaran dari Industri Pelayaran Global



KONTAN.CO.ID - Industri pelayaran dalam beberapa waktu terakhir menjadi primadona baru di bursa saham Indonesia. Misalnya, Samudera Indonesia dengan kode saham SMDR mengalami kenaikan harga saham lebih dari 55% pada minggu pertama Mei 2021 lalu. Hal ini sejalan dengan kenaikan profit perusahaan pelayaran itu pada kuartal pertama tahun ini yang mencapai lebih dari 600% dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu.

Kinerja mumpuni SMDR tentu tidak lepas dari efek domino dari kinerja perusahaan pelayaran global secara umum. Misalnya saja, perusahaan pelayaran asal Jepang, Ocean Network Express (ONE) baru saja mengumumkan total profit tahun 2020 mencapai US$ 3,5 miliar atau naik lebih dari 3.000% dibandingkan dengan profit tahun 2019. Raksasa pelayaran Main Line Operator (MLO) Denmark AP Moller-Maersk selama tiga bulan pertama tahun 2021 membukukan laba bersih sebesar US$ 2,7 miliar ( 2,3 miliar), setara dengan profit mereka pada 2020. Di periode yang sama, Happag-Lloyd, salah satu operator terbesar dunia yang lain, membukukan kenaikan pendapatan sebesar 3% di tengah pandemi.

Kinerja perusahaan-perusahaan pelayaran global tersebut meningkat disebabkan oleh kenaikan freight rate yang sangat pesat sepanjang tahun 2020, yang diiringi harga bahan bakar kapal yang relatif murah karena anjloknya harga minyak dunia di kuartal I 2020. Data Bloomberg Intelligence menunjukkan, freight rate composite meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar US$ 800 pada awal 2000 menjadi US$ 1.800 di November 2020. Composite freigt rate itu dibuat berdasarkan tarif di beberapa rute utama dunia per twenty equivalent unit (TEU) atau per box container.

Jika diperhatikan secara lebih seksama, pergerakan harga saham dan kinerja perusahaan pelayaran nasional di bursa efek, hanya SMDR saja yang mencetak kinerja yang gemilang. Perusahaan pelayaran nasional lainnya yang bergerak di bidang pelayaran kontainer seperti Temas (TMAS) memiliki harga saham yang relatif stagnan pada kisaran Rp 150-Rp 170 per saham. Kinerja atau profitabilitas perusahaan itu juga cenderung menurun di 2020 dibanding 2019. Diversifikasi pasar untuk beroperasi di domestik dan internasional menjadi salah satu kunci keberhasilan SMDR.

Dengan demikian, perusahaan seperti TMAS tidak dapat merasakan manfaat sepenuhnya dari kenaikan freight rate dunia yang sangat signifikan pada akhir tahun 2020. Sebab, freight rate domestik tidak berkorelasi dengan freight rate dunia. Hal tersebut disebabkan oleh tingkat konsentrasi pasar dan persaingan harga pelayaran domestik yang tinggi, sehingga freight rate domestik memiliki pola pergerakan harga sendiri. Samudera Indonesia Research Initiatives (SIRI) mengestimasikan, korelasi dari freight rate domestik dan internasional hanya sekitar 7%.

Pembentukan harga tarif domestik yang cenderung predatory pricing juga diwarnai dengan korelasi yang rendah dengan harga bunker. Dengan demikian, ketika harga bunker internasional mengalami penurunan sehingga membuat celah meningkatnya gross profit tidak bisa dinikmati oleh perusahaan pelayaran domestik. Hal ini ditambah dengan volume perdagangan Indonesia yang menurun 12%, dari sekitar 628 juta ton pada tahun 2019 menjadi hanya 552 juta ton di tahun 2020 berdasarkan data Bank Indonesia.

Selain itu, investasi pada sektor pelayaran di Indonesia sangat sulit dan mahal untuk dilakukan. Sulit karena biaya investasi terlampau tinggi dan tenor pinjamannya memberatkan dan mahal. Karena, persaingan yang tidak sehat menggerus profitabilitas perusahaan pelayaran, di mana di saat yang bersamaan biaya investasi terlampau tinggi.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga kredit investasi bank umum di Indonesia pada 2018 mencapai 10,38%, pada 2019 turun menjadi 9,90%, dan di akhir tahun 2020 turun sampai 8,88%. Padahal, pada rentang periode 20182020, BI 7-Day (Reverse) Repo Rate telah diturunkan dari level tertingginya sebesar 6% sampai ke level 3,75% pada akhir tahun 2020 lalu.

Sulit bersaing

Kondisi yang demikian membuat realisasi investasi di sektor pelayaran di Indonesia relatif rendah. Berdasarkan data National Single Window for Investment (NSWI), realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) sektor angkutan perairan pada rentang periode 2010 sampai 2020 tidak pernah lebih dari 1% dari total realisasi investasi PMA. Sedangkan untuk realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN), jumlahnya kurang dari 3% dari total realisasi investasi PMDN pada rentang periode 2010 sampai 2020.

Selain itu, meskipun terdapat realisasi investasi pada sektor pelayaran, mayoritas pendanaan dan pembelian kapalnya berasal dari luar negeri, terutama Jepang. Membeli kapal dari luar negeri tentu meningkatkan risiko investasi perusahaan pelayaran, yaitu risiko fluktuasi nilai tukar dan harga kapal. Investasi kapal dengan mengandalkan pembelian kapal dari galangan kapal nasional sulit dilakukan karena harga kapal domestik relatif lebih mahal. Hal itu disebabkan beban produksi kapal nasional yang tinggi karena mayoritas bahan bakunya impor dan terdapat bea masuk impor bahan baku produksi kapal nasional.

Investasi kapal yang mahal dan sulit dilakukan pada akhirnya menyebabkan perusahaan pelayaran nasional tidak dapat memaksimalkan potensi pendapatan operasionalnya dan cenderung tidak bersaing di tingkat global. Kondisi tersebut membuat konsumen domestik sangat tergantung dengan jasa pelayaran asing untuk aktivitas ekspor-impor.

Merujuk data Sektor Eksternal Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang dipublikasi oleh Bank Indonesia (BI), sampai dengan kuartal III-2020, sektor jasa telah mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 6,7 miliar, dimana 55% defisitnya berasal dari sektor jasa transportasi sebesar US$ 3,7 miliar. Dan, mayoritas defisit perdagangan jasa transportasi berasal dari defisit jasa transportasi barang yang mencapai US$ 3,4 miliar. Ironisnya, defisit jasa transportasi merupakan dalang dari defisit neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2018 dan 2019.

Ketertinggalan perusahaan pelayaran nasional itu pada akhirnya tidak hanya membuat perusahaan pelayaran nasional tak bisa menangkap peluang dari geliat industri pelayaran global. Siklus yang demikian bila dibiarkan terus-menerus akan membuat industri pelayaran nasional semakin tertinggal dan meningkatkan ketergantungan eksportir dan importir nasional terhadap jasa pelayaran asing untuk menunjang aktivitas bisnisnya.

Penulis : Ibrahim Kholilul Rohman & As'ad Mahdi

Kepala dan Staf Samudera Indonesia Research Initiative

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti