KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pembukaan ekspor pasir laut melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 membuka peluang bisnis bagi pelaku usaha transportasi laut. Ketua Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto mengatakan, pada prinsipnya setiap kebijakan distribusi komoditas dapat menjadi peluang bagi bisnis transportasi laut, begitu pula dengan pasir hasil sedimentasi yang bisa diangkut menggunakan armada Tug & Barge. Memang, menurut catatan Carmelita, sarana angkutan Tug & Barge di dalam negeri saat ini cukup sibuk lantaran kebutuhan yang cukup besar untuk batubara dan muatan curah lain. Kendati demikian, hal tersebut menurutnya tidak serta merta menutup peluang berjalannya kegiatan pengangkutan muatan pasir laut.
Baca Juga: KKP Siapkan Aturan Turunan Pengelolaan Pemanfaatan Pasir Laut “Paradigma shipping adalah
ship follow the trade, maka bisa dipastikan nanti akan ada tug & barge baru yang melayani. Di samping itu, untuk kebutuhan ekspor kan tidak harus menggunakan armada nasional,” tutur Carmelita kepada Kontan.co.id, Kamis (8/6). PP Nomor 26 Tahun 2023 diundangkan pada 15 Mei 2023 lalu. Pasal 9 beleid ini menyebutkan, hasil sedimentasi berupa pasir laut dapat digunakan untuk sejumlah hal, termasuk di antaranya untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasir laut, sejatinya memang memiliki nilai ekonomi. OEC World mencatat, sejumlah negara rela menggelontorkan uang ratusan juta dolar Amerika Serikat (AS) demi peroleh bahan material ini. China misalnya, tercatat melakukan impor pasir dengan nilai hingga US$ 329 juta di tahun 2021. Tindakan yang sama juga dilakukan oleh negara lain seperti misalnya Kanada dengan nilai impor US$ 219 juta dan Belgia dengan nilai impor US$ 156 juta di tahun 2021. Kendati demikian, kebijakan pembukaan keran ekspor pasir laut tidak serta merta menarik minat perusahaan transportasi/pengangkutan laut. Direktur PT Trans Power Marine Tbk (
TPMA), Rudy Setiono mengatakan, TPMA masih akan fokus pada muatan angkut batubara, kepingan kayu alias woodchips, dan bijih nikel. Alasannya, tarif angkut alias rate pasir laut umumnya lebih rendah dibanding tarif angkut batubara. “(Tarif angkut pasir laut setara) 60%-65% dari rate batubara,” tutur Rudy saat dihubungi Kontan.co.id (8/6).
Baca Juga: Kepulauan Riau Bisa Menjadi Percontohan Tata Kelola Pasir Laut Dengan fokus perusahaan pada muatan batubara, woodchips, dan bijih nikel, TPMA mengincar pertumbuhan pendapatan sekitar 20%-30% pada tahun ini. “Saat ini (armada TPMA)
full utilized,” ujar Rudy.
Sementara itu, Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR), Bani Maulana Mulia mengatakan bahwa pihaknya perlu mengkaji dahulu dampak ekspor pasir laut terhadap lingkungan. “Kami tentu tidak akan mendukung apabila dampak bagi lingkungannya negatif,” kata Bani kepada Kontan.co.id (8/6). Di sisi lain, SMDR juga saat ini masih fokus pada muatan-muatan angkut lain. “Masih banyak sekali komoditas lain & juga volume ekspor impor indonesia banyak sekali yang masih bisa digarap tidak termasuk pasir laut, jadi kami cukup sibuk untuk komoditas-komoditas lain,” tutur Bani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .