Pelaku Industri Dinilai Tak Perlu Berlebihan Merespons Regulasi Pelabelan BPA



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan potensi bahaya bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada kesehatan dan keselamatan publik merupakan sesuatu yang nyata dan kalangan industri tidak perlu berlebihan merespons regulasi pelabelan BPA yang justru untuk mengedukasi masyarakat.

"BPA kan fungsinya menjadikan plastik keras dan jernih, namun sayangnya bisa berpindah ke makanan atau minuman. Banyak penelitian menunjukkan kandungan BPA sudah ditemukan di cairan kemih dan pada binatang. Ini berbahaya," kata Pandu dalam keterangannya, Selasa (21/6). 

Menurut Pandu, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA. 


"Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya mendukung hadirnya regulasi serupa di Indonesia.

Baca Juga: Istana Air Taman Sari Yogya : Manifestasi Sistem Kesehatan Global

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kini tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA. Mendominasi pasar, produsen galon jenis tersebut nantinya diwajibkan untuk mencantumkan label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA" terhitung tiga tahun sejak aturan disahkan.

"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya. 

Penelitian dan riset mutakhir menunjukkan BPA bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak

Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM, Rita Endang menyatakan rancangan regulasi pelabelan BPA untuk tahap awal hanya menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. 

"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena Tereftalat)," kata Rita menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA.

Baca Juga: Atasi Kelangkaan Chip, Industri Semikonduktor Jerman Siap Investasi Triliunan

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S. Panjaitan, berpendapat semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA. 

"Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & Iklan Pangan," katanya dalam sebuah pernyataan pekan lalu.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, organisasi yang mewadahi 60.000 depot air minum di seluruh Indonesia, Budi Dharmawan, menegaskan pelaku depot air minum selalu mendukung pemerintah dalam hal menjaga kesehatan konsumen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi