Pelaku industri pengolahan kakao keluhkan keterbatasan pasokan bahan baku



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Indonesia memiliki industri kakao yang kuat di sektor nonhulu. Buktinya, saat ini Indonesia menjadi negara pengolah kakao terbesar ketiga dunia setelah Belanda dan Pantai Gading. Sejalan dengan hal tersebut, Head of Corporate Communication PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk, Dian Astriana mengatakan bahwa bisnis penjualan kakao olahan memiliki prospek yang baik ke depannya. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin bertambahnya variasi penggunaan produk kakao sebagai bahan baku produk makanan dan minuman.

Baca Juga: Kemenperin usul PPN impor kakao jadi 0% Meski demikian, hal ini bukan berarti bahwa industri pengolahan kakao tidak menghadapi permasalahan. Menurut Dian Astriana, rantai pasokan belum berjalan dengan baik lantaran minimnya suplai bahan baku kakao di sektor hulu. "Pemerintah perlu segera menggenjot produksi biji kakao demi memenuhi kebutuhan industri," ujar Dian kepada Kontan.co.id (17/09). Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per September 2019, saat ini terdapat sebanyak 20 perusahaan pengolahan kakao dengan kapasitas produksi sebesar 747.000 ton pertahun. Namun demikian, tingkat utilisasi dari kapasitas terpasang baru mencapai 59% akibat terbatasnya pasokan bahan baku kakao dalam negeri. Terbatasnya pasokan bahan baku cokelat dalam negeri selanjutnya mendorong pemenuhan kebutuhan bahan baku secara impor. Pada tahun 2018 saja misalnya, impor biji kakao mencapai 239.000 ton dengan nilai US$ 528,9 juta yang merupakan volume impor terbesar selama industri kakao berdiri. Oleh karenanya, intervensi pemerintah dinilai menjadi penting dalam meningkatkan produksi biji kakao dalam negeri agar kebutuhan bahan baku kakao dalam negeri terpenuhi dalam jangka panjang. Sementara hal tersebut dilakukan, Dian menilai bahwa pemerintah dapat memperlancar impor biji kakao ketika kebutuhan biji kakao belum bisa dipenuhi secara lokal.

Baca Juga: Menperin: Kita ingin nol-kan tarif PPN kakao Catatan saja, saat ini importasi biji kakao ke dalam negeri memang menghadapi serangkaian restriksi. Sebagaimana yang telah dimuat dalam publikasi daring Kontan tertanggal 4 September 2019, selama ini impor biji kakao dikenakan sejumlah pajak yang apabila diakumulasikan mencapai 17,5% secara total. Beban pajak tersebut terdiri atas bea masuk sebesar 5%, PPN 10%, dan PPH 2,5%. Namun demikian, Dian mengatakan bahwa di tengah keterbatasan bahan baku cokelat PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD) tetap berupaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kakaonya secara lokal. Saat ini, emiten yang memiliki kode saham GOOD ini sendiri memiliki kapasitas produksi lebih dari 150.000 ton pertahun untuk memproduksi produk-produk makanan ringan cokelat. Sementara itu, volume produksi produk-produk cokelat tahunan GOOD sudah mencapai lebih dari 100.000 ton pertahun. Dengan kapasitas dan volume produksi yang demikian, GOOD memiliki kebutuhan bahan baku cokelat tahunan hingga mencapai 15.000 ton pertahunnya. Sebagian besar kebutuhan tersebut dipenuhi dengan bekerja sama dengan mitra pemasok bahan baku kakao seperti Barry Callebaut Indonesia, Cargil Indonesia, dan Olam Indonesia.


Baca Juga: Wahana Interfood Nusantara akan fokus ke pasar domestik Sebagai informasi, sebagai produsen makanan dan minuman, GOOD memang memproduksi beberapa produk kakao olahan dalam bentuk makanan ringan.

Menurut keterangan Dian, saat Chocolatos menjadi salah satu produk kakao chocolatos yang paling banyak diminati oleh konsumen. Menyambut antusiasme pasar tersebut, GOOD ke depannya berencana akan meluncurkan varian Chocolatos baru, yakni Chocolatos Wafer Cokelat kategori wafer cream.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini