KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Insiden penembakan terhadap kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memicu kemungkinan lebih tangguhnya dolar Amerika. Secara historis, mata uang dolar AS lebih tangguh saat mantan presiden AS ke-45 tersebut memimpin. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo membenarkan bahwa memang ada kemungkinan penguatan aset
safe haven seperti emas dan dolar AS usai upaya penembakan terhadap Trump pada Sabtu (13/7). Umumnya, pasar memang tidak menyukai ketidakstabilan politik dan cenderung mencari lindung nilai. Namun sejauh ini ia belum melihat dampak besar dari insiden penembakan tersebut telah mendorong investor beralih ke aset lindung nilai (
safe haven). Harga emas khususnya akan sangat bergantung pada hasil pemilihan presiden AS mendatang di bulan November.
Baca Juga: Upaya Pembunuhan Donald Trump Angkat Harga Dolar AS, Emas dan Aset Kripto Menurut Sutopo, sebelum peristiwa penembakan partai republik telah unggul, dan sesudah ini mungkin sangat unggul. Jadi asumsi penembakan Trump tersebut berefek bagi potensi kemenangan Trump tidak begitu signifikan. Yang jelas, konsekuensi mata uang dari masa jabatan kedua di bawah kepemimpinan Donald Trump diprediksi lebih rumit. Secara historis, dolar AS menguat setelah kemenangan tak terduga Trump pada tahun 2016 dan melemah saat kekalahan dalam pemilu tahun 2020. “Jika Trump terpilih kembali, pola serupa mungkin akan muncul, terutama jika ia terus melakukan pemotongan pajak bagi perusahaan dan individu kaya, kebijakan yang secara historis mendukung dolar yang lebih kuat,” ujar Sutopo saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (15/7). Selain itu, kecenderungan Trump terhadap tarif impor, terlepas dari dampak ekonominya, juga dapat memberikan dukungan terhadap dolar AS dengan meningkatkan harga produk dalam negeri dan mendorong the Fed untuk menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi. Namun, jika Trump memengaruhi The Fed untuk mempertahankan suku bunga rendah, inflasi yang berkelanjutan dapat menurunkan nilai dolar. Bahkan ada diskusi mengenai perubahan kerangka operasional The Fed untuk meningkatkan pengaruh presiden, yang berpotensi berdampak pada stabilitas dolar AS. Sutopo mengamati, pemilu memang biasanya berdampak pada pasar keuangan dalam jangka menengah dan panjang, namun dampaknya terbatas. Tren ekonomi dan inflasi dianggap cenderung memberikan pengaruh yang lebih konsisten terhadap kinerja pasar dibandingkan hasil pemilu. Menurut Sutopo, kunci bagi pelaku pasar adalah memahami potensi arah kebijakan, yang memiliki dampak lebih besar pada pasar saham dibandingkan memprediksi hasil pemilu. Hal ini harus tetap didasarkan pada indikator ekonomi yang lebih luas seperti pertumbuhan, suku bunga, inflasi dan pendapatan perusahaan. “Faktor-faktor ini terbukti memiliki korelasi yang lebih kuat dan langsung dengan pasar keuangan,” ucapnya. Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, pasca insiden penembakan Trump akhir pekan lalu, sikap pelaku pasar mulai meraba-raba sejauh mana perkembangan kecemasan politik di Amerika. Antisipasi ini menjadi penting karena secara ekonomi tengah dihadapkan pada tekanan untuk mengurangi suku bunga, setelah serangkaian data ekonomi terindikasi mengarah pelonggaran. Kendati demikian, Nanang melihat, pergerakan harga emas saat ini masih stabil di tengah minimnya katalis penting minggu ini. Pergerakan harga yang terbatas ini kemungkinan karena investor
wait and see terhadap pidato Gubernur Fed Jerome Powell, pada panel diskusi Economic Club, Senin (15/7) malam ini.
Baca Juga: Harga Emas Spot Turun ke Level US$2.402,82 pada Senin (15/7) Siang “Bila sinyal pengurangan suku bunga disampaikan dalam pidato nantinya, maka ruang pelemahan dolar dan imbal hasil AS terbuka, harga emas bisa kembali menguat dan bergerak di atas US$ 2.420 dan berjuang mendekati kembali US$ 2.450 dan atau menembusnya,” ungkap Nanang kepada Kontan.co.id, Senin (15/7). Nanang berujar, patut ditunggu kebijakan fiskal nantinya apabila Trump menjadi tampuk pimpinan di negara julukan Paman Sam tersebut. Sebab, banyak pihak tidak menyukai Donald Trump karena properang dagang yang dapat mengganggu hubungan dagang Amerika dengan negara maju lainnya. “Selain itu, Trump sangat pro Israel, sehingga Timur Tengah bisa terus makin memanas dan bisa menyebabkan harga minyak dan inflasi naik lagi,” imbuh Nanang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi