JAKARTA. Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai menggelar rangkaian uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota dewan komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebelum memulai uji kelayakan ke masing-masing calon DK OJK, pada Senin (29/5) kemarin, Komisi XI DPR menjaring masukan pelaku pasar modal. Penjaringan masukan dilakukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Asosiasi Dana Pensiun, Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Asosiasi Profesi Pasar Modal Indonesia, dan Bursa Efek Indonesia. Dalam kesempatan itu Ketua Umum AEI Fransiscus Welirang mengatakan, sosok yang dibutuhkan untuk menjadi anggota Komisioner OJK yang baru adalah yang mengerti betul perbedaan peran sebagai penguasa dan pengawas. Artinya, kekuasaan OJK harus mengikuti aturan dan undang-undang yang ada.
Sebab menurut Franky, selama ini aturan OJK masih ada yang dilanggar seperti misalnya OJK yang terlalu ikut campur dalam pemilihan komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI). "Anggota OJK yang baru harus bisa betul-betul mencerna Undang-Undang OJK dan Undang-Undang pasar modal, jangan sampai ada tumpang tindih dalam melaksanakan tugasnya sesuai UU," kata Franky Welirang, Senin (29/5). Selain itu, Franky juga meminta agar DK OJK yang baru bisa meringankan iuran emiten yang dirasa masih ada diskriminasi. Apalagi selama ini emiten non sektor keuangan juga turut dipungut iuran oleh OJK. "Jadi ada diskriminasi pungutan dan ini kami sudah bicarakan selama tiga tahun dan minta OJK selesaikan ini," tegasnya. Mengenai dua kandidat calon ketua DK OJK yang disodorkan pemerintah yakni Wimboh Santoso dan Sigit Pramono, Franky menilai keduanya tidak mewakili pasar modal. Kedua kandidat ketua DK OJK ini, kata Franky, masih cenderung menguasai sektor perbankan. "Belum terlihat (ada keterwakilan pasar modal) tapi kami harapkan ia lebih dekat terhadap industrinya sendiri," ungkapnya Harus responsif Suheri, Wakil Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), juga menilai iuran yang tidak tepat oleh OJK sering dialami oleh sektor keuangan non bank, seperti asosiasi dana pensiun. Ia juga menyoroti penghitungan biaya yang ditetapkan OJK sebesar 0,45% dari total aset yang aktif maupun sudah mati. "Aset yang kadang sudah mati, masih harus dicatat, kena biaya. Kami bayar dimana-dimana," ujar Suheri. Oleh karena itu dia meminta calon DK OJK tidak membuat aturan yang menyengsarakan anggota lembaga pengelola dana pensiun. Selain itu, Suheri berharap DK OJK yang baru bisa lebih proaktif merespon permasalahan yang ada di lapangan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi berharap, ketua DK OJK yang baru harus berpihak pada industri yang dibawahinya, baik industri keuangan dan pasar modal. Selain itu, kata Bambang, yang terpenting pimpinan OJK tidak boleh punya kepentingan golongan. "Yang paling penting punya integritas tinggi, kompetensi tinggi dan tidak berpolitik,"ujar Bambang.
Executive Director Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Lily Widjaja mengungkapkan, anggota DK OJK yang baru nantinya harus bisa mengatasi semua hambatan yang dihadapi oleh pelaku industri jasa keuangan dan pasar modal. Sebab, menurutnya selama ini di lapangan masih banyak dtemukan berbagai hambatan yang akhirnya membuat bisnis berjalan tidak efisien. Salah satunya, kata Lily, adalah soal ketentuan pajak, margin dan pungutan yang ditetapkan OJK. Lily bilang DK OJK yang terpilih nanti harus mampu mengatur biaya-biaya yang dibebankan ke APEI. Tujuannya agar tidak memberatkan pelaku usaha di sektor ini. Dengan begitu, ke depan bisa tercipta persaingan usaha yang lebih sehat. "Poinnya bagaimana mengatur
fee agar terjadi persaingan yang sehat," ujar Lily. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia