KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) berharap agar pelaku usaha juga dilibatkan dalam pembahasan serta pembentukan tarif atau nilai pungutan untuk Badan Layanan Umum (BLU) Batubara. Sedikit kilas balik, ide pembentukan BLU batubara pada awalnya digagas berdasarkan hasil diskusi APBI dengan pemerintah di awal Januari 2022. Saat itu pemerintah menerapkan larangan ekspor. Waktu itu pelaku usaha menginginkan adanya solusi permanen dalam menyelesaikan permasalahan kelancaran pasokan batubara di saat ada lonjakan harga komoditas.
Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia memaparkan, di tahap awal pembentukan BLU Batubara pelaku usaha sempat dilibatkan. Pada Mei 2022, APBI bersama dengan PLN ikut berdiskusi pembentukan BLU.
Baca Juga: Intip Target Bisnis United Tractors (UNTR) di Tahun Depan “Setelah itu belum ada lagi undangan dari pemerintah untuk pembahasan soal BLU batubara,” terangnya kepada Kontan.co.id, Minggu (4/12). Hendra mengemukakan, pelaku usaha berharap agar BLU bisa menjamin kesetaraan (
level playing field) bagi segenap penambang batubara serta tidak merugikan PLN. Dia menegaskan, pemerintah sebaiknya melibatkan pelaku usaha dalam pembentukan nilai pungutan supaya nantinya tidak terlalu merugikan arus kas perusahaan. “Usulan skema tarif dan mekanisme pungut salur BLU perlu segera dibahas dengan pelaku usaha,” tegasnya. Pada dasarnya untuk tahun ini Hendra melihat pasokan batubara domestik sudah baik atau tercukupi. Apalagi pemerintah telah menerbitkan penugasan kepada beberapa perusahaan untuk membantu mengatasi pasokan domestik ke PLN. “Kami berharap BLU bisa segera direalisasikan di awal tahun 2023,” ujarnya. Namun, Hendra berpesan, sebelum BLU batubara diberlakukan, pemerintah perlu meninjau kembali (
review) formula Harga Patokan Batubara (HPB). Menurutnya disparitas atau semakin melebarnya indeks-indeks harga jual batubara Indonesia dengan indeks-indeks batubara Australia. HBA yang terbentuk menjadi tidak relevan dengan harga jual aktual batubara Indonesia. Kondisi ini diakui Hendra sudah terjadi sejak Juni 2021 sehingga perusahaan membayar kewajiban tarif royalti yang lebih tinggi karena bukan berdasarkan atas harga jual riil.
Baca Juga: Indika Energy (INDY) Membalikkan Kerugian Disokong Harga Batubara Dalam hal ini pelaku usaha mengusulkan agar formula Harga Batubara Acuan (HBA) dan Harga Patokan Batubara (HPB) dikaji kembali agar HBA/HPB bisa lebih merefleksikan harga jual batubara Indonesia. Dalam aturan yang berlaku saat ini, Hendra menilai formula HPB dapat ditinjau kembali. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, saat ini peleburan organisasi untuk mengelola BLU masih dilakukan. "Jadi BLU kita lagi proses, mudah-mudahan bisa diselesaikan. Kita harapkan kuartal I 2023 sudah berjalan," kata Arifin di Kementerian ESDM, Jumat (2/12).
Arifin menjelaskan, nilai kompensasi ditetapkan beragam bergantung pada kalori batubara yang dihasilkan. Sejauh ini, Kementerian ESDM juga masih memfinalisasi hitung-hitungan pungutan yang akan dikenakan. Nantinya, para perusahaan batubara akan mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB). Dari situ akan dilihat kalori batubara yang diproduksi sehingga dapat ditentukan besaran tarif yang harus disetorkan. Saat BLU Batubara berjalan, Arifin mengakui, harga patokan US$ 70 per ton masih akan dikenakan untuk
Domestic Market Obligation (DMO). Nantinya, melalui skema BLU Batubara, pelaku usaha akan mendapatkan kompensasi untuk selisih harga pasar dengan harga patokan yang dikenakan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi