Pelaku Usaha Hulu Migas Sambut CCS Di Indonesia, Berikut Potensi Bisnisnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha hulu migas menyambut baik Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (CCS). 

Diharapkan beleid anyar ini dapat mendukung pelaksanaan CCS yang akan menjadi potensi bisnis baru di industri hulu migas.  

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), Marjolin Wajong menyatakan Perpres CCS yang sudah diterbitkan merupakan satu hal yang positif untuk Indonesia. 


Melalui bisnis CCS, pelaku usaha dapat memberikan nilai tambah bagi depleted reservoir untuk menyimpan karbon. 

Baca Juga: Wilayah Izin Penyimpanan Karbon untuk CCS Dapat Dilakukan di Lahan Pertambangan

Depleted reservoir adalah reservoir migas yang telah mengalami penurunan tekanan atau tidak dapat diproduksikan lagi secara ekonomis.

“Secara bisnis kita bisa memonetisasi depleted reservoir. Hal ini juga bagus bagi Indonesia untuk menurunkan emisi karbon,” ujarnya ditemui di Jakarta, Kamis (1/2). 

Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon sekitar 2 Giga Ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area. Kemudian sekitar 10 Giga Ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatera Basin. 

Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar yaitu sekitar 80 Giga Ton CO2 pada saline aquifer. Sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 Giga Ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia. 

IPA juga menilai, Indonesia salah satu negara yang cukup serius dan maju dalam melaksanakan CCS karena sudah merumuskan pelaksanaannya dalam bentuk peraturan. 

Selain Perpres 14 Tahun 2024, sebelumnya pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 

Meski demikian, Marjolin menilai, masih banyak detail yang harus dibicarakan dalam pelaksanaan bisnis CCS di Tanah Air. 

“Ini kan peraturannya baru keluar biasanya akan kita bedah dan dilihat. Mana saja yang membutuhkan detail pelaksanaan di peraturan berikutnya,” tandasnya. 

Praktisi migas sekaligus pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Widhyawan Prawiraatmadja menjelaskan hampir semua perusahaan migas yang bonafide meminta revisi rencana pengambangan WK migas-nya untuk memasukkan CCS/CCUS. 

Hal ini dilakukan untuk menyelaraskan bisnis fosilnya dengan kewajiban menurunkan emisi. 

Baca Juga: Pemerintah akan Segera Merilis Perpres Tentang Carbon Capture Storage Bulan Ini

Di sisi lain, CCS juga dapat menjadi tambahan pendapatan bagi perusahaan hulu migas jika dapat monetisasi depleted reservoir-nya. 

“CCS merupakan solusi jangka panjang untuk kita. Dengan teknologi maju ini tentu akan mendatangkan investasi baru ke dalam negeri,” jelasnya dalam kesempatan yang sama. 

Widhyawan optimistis potensi CCS karena kebutuhan penyimpanan karbon mulai muncul dari negara tetangga. 

Dia mencontohkan Singapura sudah tidak bisa mengakomodasi pembuatan data center rendah karbon karena keterbatasan lahan. Maka itu mereka mengupayakan impor listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dari Indonesia. 

Kelak pasokan listrik bersih yang diimpor dari Indonesia tidak mencukupi kebutuhan mereka, Singapura dapat menginjeksikan emisi karbonnya ke Indonesia.

Akademisi Ekonomi Energi dari Universitas Pertamina, Rinto Pudyantoro menduga masuknya perusahaan hulu migas ke bisnis CCS karena mempertimbangkan hal politis yang lebih besar.  

“Bisa jadi dengan CCS mereka bisa mendapatkan pinjaman bank di mana saat ini perbankan harus menunjukkan portofolio hijaunya,” jelasnya. 

Di sisi lain, perusahaan yang bergerak di bisnis fosil mendapatkan tuntutan besar untuk membela ekonomi hijau. Nah, bisnis penyimpanan karbon ini juga bisa menaikkan nilai (value) Perusahaan yang pro terhadap lingkungan. 

Managing Director & Partner at Boston Consulting Group (BCG), Lenita Tobing menjelaskan dalam konteks global pasar CCS diprediksi akan tumbuh lebih dari US$ 130 miliar di 2030 dan tumbuh eksponensial di dekade berikutnya. 

Dalam materi paparannya, proyeksi pasar CCS global mencapai US$ 134 miliar di 2030 dan naik menjadi US$ 440 miliar di 2040. Peluang bisnis ini didominasi dari aktivitas penangkapan (capture), diikuti penyimpanan (storage), dan transportasi. 

Baca Juga: Investasi Mahal, Pengembangan CCS Butuh Banyak Bantuan dari Pemerintah

Nah, Indonesia sendiri memiliki kapasitas penyimpanan yang sangat besar dan cukup untuk mendekarbonisasi ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan. 

“Di ASEAN sendiri total emisi karbon di 2022 sebanyak 1,7 Giga ton per annum (GTPA). Kemudian di Jepang potensinya 0,7 GPTA, Korea Selatan 0,5 GTPA, dan Indonesia 0,9 GTPA berdasarkan target pemerintah di 2030,” ujarnya belum lama ini. 

Selain kapasitas penyimpanan yang cukup besar, Indonesia juga mempunyai keunggulan lain, yaitu kedekatan lokasi sehingga memungkinkan pengangkutan karbon yang relatif murah.

Terkait permintaan penyimpanan karbon ini, lanjutnya, akan terus didiskusikan dan dinegosiasikan dengan negara tetangga. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi