KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pemain bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terancam bertumbangan. Mereka kesulitan mempertahankan bisnis di tengah pembatasan pemasangan PLTS Atap oleh PT PLN. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menyatakan, energi surya fotovoltaik atau PLTS sebenarnya mampu menjadi tulang punggung bauran energi terbarukan, tidak hanya sampai 2025 melainkan juga untuk target net-zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat. “Sayangnya pengembangan PLTS skala besar di Indonesia masih belum terlihat dan PLTS atap juga terhambat karena Permen ESDM No 26/2021 tidak diimplementasikan, termasuk adanya pembatasan kapasitas dan upaya mempersulit perizinan PLTS Atap yang dilakukan PLN,” jelasnya dalam media briefing di Jakarta, Selasa (21/3).
Sejak awal tahun 2022, Fabby menceritakan, terjadi pembatasan kapasitas PLTS atap 10%-15% yang diterapkan pada berbagai pelanggan, mulai dari residensial (rumah tangga) hingga industri. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No 26/2021 yang mengizinkan hingga maksimum 100% daya listrik terpasang. Adanya pembatasan ini menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. Padahal, permintaan PLTS mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan sejak 2018, tepat di saat peraturan menteri pertama tentang PLTS atap yakni Permen ESDM No 49 Tahun 2018 berlaku. Namun di tahun 2022 pertumbuhan pengguna PLTS atap dan kapasitas terpasangnya tidak setinggi 5 tahun sebelumnya. Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) Linus Andor Mulana Sijabat menyatakan saat ini hampir semua anggota asosiasi telah menghentikan produksinya karena tidak ada permintaan. Kondisi ini tentu mengancam kebangkrutan masal pabrikan modul surya lokal. “Mungkin produsen modul surya yang hidup sekarang hanya tersisa satu atau dua saja. PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY) masih tetap produksi untuk ekspor meski tidak banyak dan PT LEN karena usahanya tidak cuma pabrik surya jadi masih bisa bertahan,” jelasnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Beberkan Alasan Permen ESDM PLTS Atap Belum Dapat Berjalan Baik Linus menyebut, saat ini total kapasitas produksi APAMSI sebesar 580 Megawatt dengan rata-rata utilisasi hanya 5% karena banyak yang tidak beroperasi. Ini sudah terjadi dari beberapa tahun lalu. Ia bilang, sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive dan demand dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas. Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI) menyebutkan bahwa kendala dalam meningkatkan kapasitas PLTS atap, baik karena kebijakan atau implementasi yang kurang mendukung, sangat berpengaruh terhadap lapangan pekerjaan bagi industri energi surya yang tumbuh. Ini merupakan implikasi dari banyaknya proyek pemasangan PLTS atap yang tertunda sejak tahun lalu karena ketidakjelasan implementasi aturan, sehingga pekerjaan hijau (green jobs) di sektor ini juga berpotensi hilang. Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum Perplatsi menyatakan, industri energi surya di Indonesia sedang tidak baik - baik saja. Kondisi ini dialami oleh banyak perusahaan pemasang PLTS atap (EPC), tidak hanya anggota Perplatsi saja. “Banyak perusahaan EPC yang harus berhenti menjalankan usaha, karena sejak Permen ESDM No 26/2021 muncul dan tidak dilaksanakan sepenuhnya, pemasangan menjadi tertunda dan bahkan batal,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Firmansyah menegaskan Perplatsi juga menolak draft rencana revisi Permen ESDM No 26/2021 dalam hal peniadaan ekspor dan impor listrik dari pengguna PLTS, serta diperlukannya pertimbangan matang untuk sistem kuota per daerah. Erlangga Bayu mewakili Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali menerangkan, di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya PLTS yang sudah terpasang hanya disetujui oleh PLN sebagian. “Sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sebagian, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” terangnya. Menurut Erlangga, banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Hal ini merupakan kontribusi nyata gotong royong untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca. “Bagi perusahaan PLTS yang masih skala kecil seperti kami ini sangat berdampak, karena klien tidak mau melunasi pembayaran sampai PLN memasang meteran ekspor impor, bahkan ada perusahaan yang sampai mem-PHK karyawan,” Erlangga menambahkan. PERPLATSI dan APSA Bali juga sudah berusaha melakukan advokasi langsung dengan berkirim surat ke Gubernur, DPR, DPD, hingga Kementerian ESDM; namun belum ada perubahan yang signifikan. Ketua Umum Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Yohanes Sumaryo, menyampaikan beberapa dari anggota asosiasi mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban. “Sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya,” tegasnya. Berdasarkan skenario NZE Indonesia 2060 dari International Energy Agency (IEA) dan Kementerian ESDM, PLTS memiliki porsi besar, terutama PLTS skala besar. Hingga tahun 2030 diperlukan 65 GW PLTS untuk sejalan dengan target NZE. Energi surya dan angin akan berkontribusi hingga 55% dari total semua sumber energi kelistrikan hingga tahun 2060. Sayangnya dalam 5 tahun terakhir, hanya terdapat sedikit PLTS skala besar (di atas 20 MW) yang telah dilelang dan beroperasi dengan baik. Adapun PLTS Bali Barat dan Bali Timur 2x25 MW yang telah dilelang sejak 2019 belum juga menunjukkan tanda-tanda konstruksi – salah satunya disebabkan karena negosiasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) yang berkepanjangan dan ketentuan TKDN yang memerlukan waiver dari Kementerian Perindustrian.
PLTS terapung Cirata 145 MW yang digadang-gadang menjadi PLTS terapung terbesar di Asia juga masih dalam tahap konstruksi meski telah dimulai kesepakatannya di awal tahun 2020. Dalam gelaran acara puncak KTT G20 Indonesia pada November 2022 lalu, PLN dan ACWA Power menandatangani nota kesepahaman untuk pengembangan PLTS terapung total 110 MW di Saguling dan Singkarak, yang belum juga disebutkan kapan akan dibangun.
Baca Juga: Implementasi PLTS Atap Masih Hadapi Kendala Fundamental Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat