JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang diajukan pengusaha tambang yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indoensia (Apemindo).Dalam sidang pendahuluan ini, kuasa hukum pemohon, Refly Harun menilai pasal 102 dan 103 yang diajukan untuk uji materi hanya mewajibkan pemurnian mineral sebagai pengendalian ekspor dan bukan pelarangan ekspor."Namun pemerintah menafsirkan kedua pasal tersebut sebagai landasan pelarangan ekspor dan menurunkannya dalam peraturan turunannya," katanya, Selasa (11/2). Asal tahu saja, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu, pemerintah juga mengubah peraturan menteri (Permen) ESDM No. 7/2012 menjadi Permen ESDM No. 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Padahal dalam putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 12 April 2012, MA dinyatakan bahwa Permen ESDM No. 7/2012 dianggap menyalahi UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU Minerba. "Dalam UU Minerba tak ada larangan ekspor, tapi tiba-tiba ada larangan ekspor. Kedua pasal ini adalah jantung dari larangan ekspor minerba," jelas Refly.Kedua pasal yang diuji materi ini seharusnya cukup ditafsirkan sebagai nilai tambah serta pemurnian dan pengolahan mineral saja dan jangan ada penafsiran sebagai kewajiban pemurnian mineral sebagai syarat ekspor mineral, maka itu sama saja dengan mematikan usaha penambang kecil.Penafsiran pemerintah ini bertentangan dengan pasal, 22A, 27 ayat (2), 28 D ayat (1) dan 33 ayat (3) UUD 1945 lantaran berpotensi mematikan pengusaha tambang kecil.Kapasitas pemurnian dalam negeri tak memungkinkan perusahaan tambang kecil untuk melakukan pemurnian. Perusahaan besar seperti PT Aneka Tambang membangun smelter hanya bisa untuk pemurnian hasil tambang mereka sendiri. "Artinya, perusahaan tambang kecil ini harus tutup karena tak bisa ekspor dan disisi lain kapasitas pemurnian tak memadai," ujarnya.Direktur Apemindo, Tjandra Irawan menyatakan dampak dari larangan ekspor minerba ini cukup besar, seperti dampak langsung berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang angka terakhir sudah mencapai 500.000 pekerja dan dampak tak langsungnya adalah merosotnya perputaran ekonomi di wilayah pertambangan ini. "Ketika ada kegiatan tambang, ekonomi berjalan dan ketika tambang terhenti, maka ekonomi terancam mati," katanya.
Pelarangan ekspor tak ada dalam UU Minerba
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang diajukan pengusaha tambang yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indoensia (Apemindo).Dalam sidang pendahuluan ini, kuasa hukum pemohon, Refly Harun menilai pasal 102 dan 103 yang diajukan untuk uji materi hanya mewajibkan pemurnian mineral sebagai pengendalian ekspor dan bukan pelarangan ekspor."Namun pemerintah menafsirkan kedua pasal tersebut sebagai landasan pelarangan ekspor dan menurunkannya dalam peraturan turunannya," katanya, Selasa (11/2). Asal tahu saja, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu, pemerintah juga mengubah peraturan menteri (Permen) ESDM No. 7/2012 menjadi Permen ESDM No. 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Padahal dalam putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 12 April 2012, MA dinyatakan bahwa Permen ESDM No. 7/2012 dianggap menyalahi UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU Minerba. "Dalam UU Minerba tak ada larangan ekspor, tapi tiba-tiba ada larangan ekspor. Kedua pasal ini adalah jantung dari larangan ekspor minerba," jelas Refly.Kedua pasal yang diuji materi ini seharusnya cukup ditafsirkan sebagai nilai tambah serta pemurnian dan pengolahan mineral saja dan jangan ada penafsiran sebagai kewajiban pemurnian mineral sebagai syarat ekspor mineral, maka itu sama saja dengan mematikan usaha penambang kecil.Penafsiran pemerintah ini bertentangan dengan pasal, 22A, 27 ayat (2), 28 D ayat (1) dan 33 ayat (3) UUD 1945 lantaran berpotensi mematikan pengusaha tambang kecil.Kapasitas pemurnian dalam negeri tak memungkinkan perusahaan tambang kecil untuk melakukan pemurnian. Perusahaan besar seperti PT Aneka Tambang membangun smelter hanya bisa untuk pemurnian hasil tambang mereka sendiri. "Artinya, perusahaan tambang kecil ini harus tutup karena tak bisa ekspor dan disisi lain kapasitas pemurnian tak memadai," ujarnya.Direktur Apemindo, Tjandra Irawan menyatakan dampak dari larangan ekspor minerba ini cukup besar, seperti dampak langsung berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang angka terakhir sudah mencapai 500.000 pekerja dan dampak tak langsungnya adalah merosotnya perputaran ekonomi di wilayah pertambangan ini. "Ketika ada kegiatan tambang, ekonomi berjalan dan ketika tambang terhenti, maka ekonomi terancam mati," katanya.