KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Jika sesuai perintah Presiden Joko Widodo, Indonesia akan menyetop ekspor timah dan bauksit pada awal tahun depan. Tersisa enam bulan ke depan, namun larangan ekspor ini masih menghadapi banyak kendala. Dari hilirisasi yang belum siap di tengah cadangan timah yang menipis, potensi hilangnya penerimaan negara sampai amukan masyarakat yang kehilangan pekerjaan lantaran timah banyak yang ditambang secara ilegal. Dalam paparannya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi Sumberdaya Mineral Ridwan Djamaluddin dihadapan wakil rakyat (21/6) menyebutkan, Kementerian ESDM tengah menyusun bahan-bahan untuk disampaikan Menteri ESDM ke Presiden Jokowi untuk dijadikan pertimbagan Presiden terkait rencana stop ekspor timah. “Kami sedang menyiapkan bahan-bahan untuk dijadikan bahan pertimbangan,” ujar Ridwan yang saat ini juga pejabat gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
Baca Juga: Ada Rencana Larangan Ekspor Timah, TINS Genjot Proyek Hilirisasi Namun, ia tidak menjelaskan rekomendasi Kementerian ESDM atas pelarangan ekspor tambang. Menurut kata Dirjen Minerba, ekspor timah selama ini dalam bentuk batangan, bukan ore atau bijih pasir timah. “Sebanyak 98% dalam bentuk ingot (batang timah), hanya 2% untuk pasar lokal (pasir timah),” ujar Ridwan. Larangan ekspor timah mengharuskan hilirisasi timah lebih cepat. Ini membutuhkan investasi untuk menampung batang timah yang selama ini diekspor. Kata Ridwan, ekspor timah dalam bentuk batang selama ini menaikkan nilai tambah hingga 16 kali lipat. Anggota DPR Bambang Patijaya dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) menyebut, larangan ekspor timah adalah perintah yang menyesatkan. “Ini bisikan yang menyesat. Salah. Jangan samakan timah dengan mineral lain,” ujar Bambang dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Rencana Larangan Ekspor Bisa Mengangkat Harga Timah Global Bambang juga mengingatkan, stop tiba-tiba akan membuat masyarakat mengamuk. “Jangan mengulangi masalah seperti minyak goreng, susah pulihnya. Lebih baik diskusi solusi, solusi investasi. Jangan tiba-tiba shutdown, bisa ngamuk masyarakat jika hilirisasi dak siap,” kata Bambang seperti KONTAN saksikan dalam di kanal Youtube DPR. Timah adalah mineral strategis. Banyak industri bergantung dengan pasokan timah, mulai dari industri pertahanan, pertambangan, makanan, rumah tangga, hingga otomotif. Indonesia saat ini adalah penghasil timah kedua terbesar dunia, setelah China. Total cadangan timah dunia mencapai 4,74 juta ton, dengan 17% diantaranya ada di Indonesia atau setara 800.000 ton. Adapun China memiliki cadangan timah sebanyak 23% dari total cadangan dunia, disusul Brasil yang memiliki cadangan timah dunia sebesar 15% dan menempati posisi produsen timah ketiga dunia. Ridwan menyebut, dari 800.000 ton cadangan timah di Indonesia, 91% cadangan timah Indonesia terdapat di Kepulauan Bangka Belitung. Sementara jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di daerah tersebut mencapai 482 IUP dan total wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 862.761,98 hektare (ha). Pemerintah menargetkan produksi timah pada tahun ini sebanyak 70.000 ton logam timah. Sementara itu, realisasi produksi per Mei 2022 mencapai 9.654,72 ton dengan penjualan menyentuh 9.629,68 ton.Dengan komposisi ekspor mencapai 98%, alhasil ekspor timah dari Indonesia tahun ini ditargetkan mencapai 68.600 ton.
Produksi, Pasar Domestik dan Ekspor Timah (dalam ribu ton) Timah | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 |
Produksi | 83,00 | 76,40 | 52,60 | 34,61 |
Ekspor | 83,02 | 65,04 | 65,04 | 28,25 |
Domestik | 0,69 | 2,82 | 2,82 | 3,19 |
sumber: Paparan Kementerian ESDM di DPR Dus pelarangan ekspor tentu saja akan berdampak pada penerimaan negara dari timah. Sebagai gambaran, dari ekspor timah, pemerintah mendapatkan beberapa pos penerimaan. Antara lain dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (BPPP), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bea keluar, royalti serta dividen dari BUMN timah. Sebagai gambaran, royalti timah pada tahun 2021 mencapai Rp 1,17 triliun. Realisasi tersebut naik lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 545 miliar.”Harga timah yg melonjak tinggi pada 2021 juga kontribusi posifit pada penerimaan negara,” ungkap Ridwan.
Penerimaan Royalti Timah dan Kontribusi Royalti PT Timah Tbk Tahun | Penerimaan Royalti Timah (Rp) | Royalti PT Timah Tbk (Rp) | % Royalti TINS terhadap total penerimaan royati |
2021 | 1.128.165.276.079 | 395.538.204.497 | 35,09 |
2020 | 513.014.600.220 | 392.362.542.636 | 76,48 |
2019 | 574.626.561.705 | 553.944.515.848 | 96,4 |
2018 | 687.472.008.752 | 285.490.346.862 | 41,53 |
Sumber: Paparan PT Timah Tbk (TINS) di DPR Merujuk data Kementerian ESDM, dari penerimaan royalti timah Rp 1,17 triliun, sebanyak 35% atau sebesar Rp 395,8 miliar disumbang oleh PT Timah Tbk (TINS) Tahun ini sepertinya royalti akan melesat lantaran rata-rata harga timah di tahun ini mencapai US$41.256 per ton. Angka tersebut melonjak 36,60% dibanding 2021, yakni US$30.207 per ton. Akan bertambah besar, jika tarif royalti yang kini 3% berubah dari tarif flat menjadi tarif progresif. Namun, penerimaan negara terpangkas habis jika pemerintah menyetop ekspor. Namun, dengan cadangan timah yang minim yakni hanya 800.000 ton, dengan target produksi rata-rata sama dengan tahun ini sebesar 70.000 ton maka dalam tempo 11,4 tahun akan habis.
Dus jika ini terjadi maka Indonesia akan menjadi importir timah. Bukan mustahil, ini akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Smelter akan kehabisan pasokan. Industri otomotif yang menjadikan basis produksinya di Indonesia juga akan merelokasikan pabriknya ke China yang memiliki pasokan timah berlimpah dan ekosistem hilirisasinya sudah lebih mapan. Masalahnya, program hilirisasi di Indonesia belum nampak betul hasilnya. Investasi yang mahal menjadi kendala. Pelarangan ekspor mineral dituding memperlambat investasi lantaran perusahaan butuh dana untuk investasi. Bak simalakama memang. Untuk itu, roadmap hilirisasi harus dipercepat, salah satunya dengan mengundang investor untuk membikin pabrik di Indonesia, termasuk ke bisnis pengolahan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Titis Nurdiana