KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja saham sektor konsumer non siklikal membukukan performa terlemah di antara seluruh indeks sektoral. Hingga penutupan perdagangan Rabu (17/12/2025), indeks konsumer non siklikal hanya mampu mencatatkan kenaikan satu digit sebesar 8,74% secara
year to date (ytd) ke posisi 793,27. Capaian tersebut menempatkan indeks konsumer non siklikal sebagai sektor dengan kinerja paling tertinggal. Sementara 10 indeks sektoral lainnya berhasil membukukan pertumbuhan dua digit bahkan hingga tiga digit. Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Hari Rachmansyah menilai tertahannya kinerja sektor konsumer non siklikal dipengaruhi kombinasi pelemahan daya beli masyarakat, tergerusnya margin akibat kenaikan biaya bahan baku dan logistik, serta rotasi dana investor ke sektor yang dinilai lebih agresif seperti komoditas, energi, dan saham lapis kedua.
Baca Juga: Hadapi Tantangan Daya Beli, Begini Prospek Kinerja Sido Muncul (SIDO) Di sisi lain, ekspektasi pertumbuhan laba emiten konsumer non siklikal dinilai relatif moderat, sehingga kurang menarik bagi pelaku pasar di tengah kondisi pasar yang tengah memburu saham dengan potensi pertumbuhan tinggi. Khusus daya beli, Hari memprediksi, dalam jangka 3 bulan hingga 6 bulan tekanan daya beli masih terjadi lantaran inflasi biaya hidup, penyesuaian upah yang belum sepenuhnya mengimbangi kenaikan harga, serta sikap konsumen yang cenderung lebih berhati-hati. "Pada fase ini, belanja masyarakat cenderung fokus kepada kebutuhan pokok dengan sensitivitas harga yang tinggi," kata Hari kepada Kontan, Rabu (17/12/2025). Tekanan Berpotensi Mereda Meski demikian, dalam jangka menengah sekitar enam hingga 12 bulan, tekanan daya beli berpotensi mereda seiring munculnya sejumlah katalis. Mulai dari peluang penurunan suku bunga global dan domestik, normalisasi inflasi bahan baku dan logistik, hingga dampak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta belanja pemerintah. "Jika kondisi ini terjadi, sektor konsumer non-siklikal biasanya mulai pulih lebih dulu secara defensif, meski tanpa lonjakan pertumbuhan agresif," tambah Hari.
Baca Juga: Emiten Grup Emtek Dapat Efek Positif Usai IPO Superbank (SUPA) Senada, Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih menyampaikan, pelemahan sektor konsumsi juga mencerminkan penurunan daya beli masyarakat, yang terlihat dari perlambatan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Bank Indonesia melaporkan bahwa pertumbuhan M2 berada di bawah 6% yoy pada semester I-2025, dan baru menunjukkan perbaikan dengan kembali meningkat ke atas 6% yoy pada periode Juli hingga Oktober 2025. "Kondisi ini mengindikasikan bahwa aktivitas konsumsi domestik sempat tertahan dalam beberapa bulan terakhir," ujar Ratih kepada Kontan, Rabu (17/12/2025). Efek Depresiasi Rupiah Selain faktor daya beli, pelemahan kinerja juga dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang berdampak langsung pada kenaikan cost of goods sold (COGS), khususnya bagi emiten yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor. Kenaikan COGS tersebut pada akhirnya menekan gross margin, sehingga profitabilitas sektor ikut tergerus. Depresiasi rupiah juga memberikan tekanan tambahan bagi emiten yang memiliki global bond atau liabilitas dalam mata uang asing. Pelemahan kurs menyebabkan munculnya rugi selisih kurs, yang secara langsung menekan kinerja bottom line. Sentimen negatif ini tercermin pada saham-saham berkapitalisasi besar di sektor konsumsi primer, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) turun 26,81% ytd, sementara PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) melemah 12,01% ytd.
Baca Juga: Bidik Kontrak Baru Rp 23 Triliun di 2026, Simak Rekomendasi Saham Adhi Karya (ADHI) Tekanan terhadap ICBP semakin besar setelah keluar dari indeks MSCI edisi November 2025, yang memicu arus keluar dana asing sejak awal tahun mencapai sekitar Rp 2,54 triliun. Hari juga menjelaskan sejumlah saham berkapitalisasi besar yang memiliki bobot signifikan turut membebani kinerja sektor, di antaranya ICBP, INDF dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Ketiga saham tersebut sepanjang tahun ini cenderung bergerak sideways hingga melemah, seiring terbatasnya pertumbuhan penjualan serta adanya tekanan pada margin.
Ruang Pemulihan Ratih memprediksi ruang pemulihan sektor konsumsi masih terbuka seiring dengan stimulus fiskal pemerintah. Stimulus tersebut diharapkan dapat menopang konsumsi rumah tangga, sehingga memberikan dukungan terhadap pertumbuhan top line emiten di sektor konsumsi primer, sekaligus menjadi katalis perbaikan kinerja sektor ini secara bertahap. Selain itu, pelaku pasar juga dapat mencermati saham yang berdampak langsung terhadap program pemerintah, misalnya Makan Bergizi Gratis. Sementara, Hari berpendapat sektor ini berpotensi kembali dilirik ketika pasar memasuki fase defensif. Emiten dengan pricing power yang kuat, efisiensi biaya yang baik, serta eksposur besar terhadap konsumsi domestik dinilai layak untuk dicermati.
Rekomendasi Saham Ratih menyarankan untuk
buy saham JPFA dengan target harga pada
resistance di level Rp 3.000 serta pertimbangkan
support di level Rp 2.600 per saham. Selain itu, ia juga merekomendasikan saham AMRT di target harga pada
resistance Rp 2.000 dan
support support di posisi Rp 1.850 per saham. Adapun Hari menjagokan sejumlah saham yang patut dicermati investor mulai dari ICBP, INDF dan MYOR di target harga masing-masing Rp 12.600, Rp 11.200 dan Rp 2.700 per saham.
Baca Juga: Nataru Bikin Prospek Saham Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) Kian Menderu Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News