Pelemahan ekonomi menampar kinerja ekspor Impor China



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Mesin perdagangan China kemungkinan tetap macet pada Januari 2019, sejalan dengan impor impor yang diprediksi turun untuk bulan kedua tahun ini. Sontak, hal ini menambah kekhawatiran terkait resiko perlambatan ekonomi yang lebih tajam.

China, sebagai negara perdagangan terbesar di dunia terus menjadi dipantau ketat oleh investor dan pemangku kebijakan internasional. Kecemasan ekonomi global pun terus berlanjut.

Sebabnya, impor diperkirakan turun 10% pada Januari 2019 dari periode tahun sebelumnya. Praktis hal ini menjadi penurunan terbesar sejak Juli 2016 silam. Menurut jajak pendapat 30 ekonom yang dilansir Reuters, Selasa (12/2) penurunan ini lebih buruk dari bulan Desember 2018 yang sempat susut 7,6%.


"Kita harus lebih waspada terhadap kemungkinan bahwa ekonomi China bisa lebih melambat daripada yang diperkirakan," kata Mark Williams, Kepala Ekonom Asia di Capital Economics.

Bukan cuma itu, ekspor China pada bulan Januari tahun ini kemungkinan akan mengalami kontraksi, meski tidak banyak. Pengiriman keluar negeri diprediksi turun 3,2% dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan penurunan 4,4% di bulan sebelumnya.

Babak baru pembicaraan Sino-AS di Beijing pada hari Senin diharap bisa menjadi obat untuk meredakan perang dagang antar kedua negara yang mulai tak sehat.

Para negosiator berupaya mencapai kesepakatan sebelum tenggat waktu 1 Maret 2019 ketika tarif AS untuk impor China senilai US$ 200 miliar dijadwalkan meningkat menjadi 25% dari sebelumnya 10%.

Sebagian besar analis percaya penangguhan kenaikan tarif lebih lanjut akan menjadi hasil paling memungkinkan dari perundingan tersebut. Dengan kata lain, untuk sementara waktu ruang eksportir China untuk menghindari pukulan kuat dalam jangka pendek akan muncul.

Riset Reuters menyebutkan, surplus perdagangan keseluruhan di China mulai terlihat menyusut tajam menjadi US$ 33,5 miliar pada Januari 2019 dari UI$ 57,06 miliar di bulan sebelumnya.

Namun, analis memperingatkan bahwa data dari China dalam dua bulan pertama tahun ini harus ditelisik lebih dalam. Utamanya mengenai distorsi bisnis akibat libur panjang Tahun Baru Imlek yang jatuh pada awal bulan Februari 2019 ini.

Dalam risetnya, Reuters menyimpulkan kontraksi impor China paling berdampak pada sektor teknologi. Perusahaan swasta asal Taiwan dan Korea Selatan sejauh ini merupakan yang terpukul paling parah. Mengingat dua negara ini menjadikan China sebagai pasar utama.

Taiwan mencatatkan penurunan pesanan paling tajam dari China di bulan Desember. Sementara ekspor Korea Selatan menyusut selama dua bulan berturut-turut pada Januari karena permintaan yang goyah di China, dan menekan harga chip memori.

"Tarif AS mungkin telah menekan impor teknologi China, tapi efek rantai pasok (supply-chain) berdampak pada 20% dari penurunan impor teknologi belakangan ini. Penurunan lain merupakan cerminan permintaan domestik yang lemah," tulis Ekonom di Goldman Sachs.

Melihat fakta pelemahan ekonomi ini, pemangku kebijakan di China bisa saja mempercepat atau mengintensifkan upaya stimulusnya. Regulator di China juga sedang mengkaji pemangkasan tarif impor untuk menghidupkan kembali permintaan domestik, namun tentu hal ini membutuhkan waktu. Ekonomi pun diprediksi tidak akan stabil sampai pertengahan tahun ini.

Editor: Tendi Mahadi