KONTAN. CO.ID - JAKARTA. Produsen makanan dan minuman (mamin) nasional cukup was-was terhadap volatilitas nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini. Asal tahu saja, sejak akhir Mei 2024 lalu, kurs Rupiah terjebak di kisaran level Rp 16.000 per dollar AS. Terakhir pada Senin (22/7), Rupiah berada di level Rp 16.220 per dollar AS berdasarkan situs Bloomberg. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman menilai, tekanan rupiah telah menyebabkan kenaikan biaya produksi hingga 3% yang dirasakan banyak produsen mamin Tanah Air. Hal ini mengingat sekitar 40% bahan baku industri mamin masih harus diimpor dari negara lain, termasuk material penting seperti gula, garam, kedelai, dan jagung.
"Masih ada produsen mamin yang 100% bergantung pada bahan baku impor, meski sudah banyak perusahaan yang berusaha mengandalkan bahan baku lokal," ujar Adhi kepada KONTAN, Senin (22/7).
Baca Juga: Siantar Top (STTP) Fokus Ekspansi Pasar ke Luar Negeri Kenaikan biaya produksi sebanyak 3% jelas menyulitkan bagi para produsen mamin. Tidak mudah pula bagi produsen untuk mengambi keputusan terkait harga jual produk mamin ke konsumen akhir. Pasalnya, daya beli sebagian masyarakat masih tertekan. Masyarakat juga sedang dipusingkan oleh kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng Minyakita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 per liter, sehingga beban pengeluaran mereka bertambah. Produsen mamin kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi pihak yang paling dirugikan oleh situasi seperti ini. Sebab, pelaku UMKM umumnya tidak memiliki cadangan pasokan bahan baku dalam jumlah besar. "UMKM seringkali terpaksa menyesuaikan volume produksi atau menghadapi tekanan untuk menaikkan harga jual, meski ini tidak selalu memungkinkan karena persaingan harga yang ketat," ungkap Adhi. Gapmmi mengusulkan kepada pemerintah untuk mengkaji potensi pemberian subsidi jika kurs rupiah terus melemah hingga melewati batas tertentu, misalnya Rp 16.500 per dollar AS. Langkah ini diharapkan dapat menstabilkan biaya produksi dan mengurangi potensi inflasi akibat kenaikan harga bahan pokok. Di tengah gejolak rupiah, Gapmmi tetap optimistis dengan prospek industri mamin nasional seiring tingginya permintaan di pasar domestik. Hingga akhir tahun nanti, pertumbuhan kinerja industri mamin nasional diperkirakan 5%--6% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, Manajemen PT Siantar Top Tbk (STTP) mengaku, sampai saat ini tidak ada kenaikan harga jual pada produk-produk makanan emiten tersebut. "Kami tidak bisa tiba-tiba mengubah harga jual meski ada pelemahan kurs," tutur Direktur Utama Siantar Top Armin, Senin (22/7).
STTP sendiri sebenarnya tidak begitu terdampak oleh pelemahan rupiah sampai sejauh ini, walau ada sebagian bahan baku yang diimpor dari luar negeri seperti gandum. Sebab, STTP sudah melakukan pembelian bahan baku dalam jumlah besar sejak beberapa bulan yang lalu, atau ketika kurs rupiah belum bergejolak seperti sekarang. Dengan begitu, risiko membengkaknya biaya produksi bisa diredam. "Stok bahan baku kami masih mencukupi untuk keperluan produksi," tandas dia.
Baca Juga: Siasat Industri Mamin Menghadapi Tantangan Ketergantungan Impor Bahan Baku Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati