Pelemahan Kurs Rupiah Terus Berlarut, Pelaku Usaha Makin Kesulitan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren pelemahan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tak kunjung berakhir, malah semakin memburuk. Para pelaku usaha pun cukup kelimpungan menghadapi tantangan bisnis ini. 

Mengutip Bloomberg, kurs rupiah melemah 0,34% ke level Rp 16.325 per dollar AS pada penutupan perdagangan Rabu (15/1). Rupiah tetap melemah kendati terdapat sentimen penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari ini.

Beberapa produsen elektronik mengaku dalam tekanan berat di tengah tren pelemahan rupiah. PT Sharp Electronics Indonesia misalnya, mereka harus menanggung kenaikan biaya pembelian komponen-komponen yang mesti diimpor dari luar negeri. Sharp juga kesulitan mengatur harga jual produk elektroniknya mengingat pergerakan rupiah tampak tidak menentu.


Baca Juga: Kabinet Trump Diperkirakan Paling Cepat Susun Perubahan Regulasi Kripto Pekan Depan

"Tentunya jika rupiah tetap di level Rp 16.300 per dollar AS, dengan berat hati kami akan menyesuaikan harga," ujar National Sales Senior General Manager Sharp Electronics Indonesia Andry Adi Utomo, Rabu (15/1).

Kebijakan kenaikan harga jual produk elektronik Sharp dilakukan secara bertahap mulai awal bulan depan. Adapun kenaikan harganya sekitar 2%--3%. Andry bilang, kurs rupiah yang ideal bagi kelangsungan industri elektronik ada di level Rp 15.800 per dollar AS.

PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) juga mengaku, pelemahan rupiah dalam beberapa waktu terakhir telah membuat biaya produksi naik sekitar 3%--5% akibat terkereknya harga bahan baku yang diimpor.

Namun, sampai saat ini Polytron belum menyesuaikan harga jual produk karena situasi di pasar terlihat kurang kondusif. Jika rupiah tak kunjung pulih, bukan mustahil Polytron akhirnya mengerek harga jual produk ke konsumen. "Bagi kami, yang penting adalah nilai tukar bergerak stabil," kata Tekno Wibowo, Direktur Komersial Polytron, Rabu (15/1).

Industri otomotif juga terdampak oleh pelemahan rupiah. Terlebih lagi untuk mobil listrik yang sebagian komponennya masih bergantung dari impor, terutama baterai. Belum lagi, beberapa model mobil listrik ada yang diimpor utuh dari luar negeri.

"Kalau rupiah melemah berkepanjangan, para APM bisa melakukan penyesuaian harga jual," imbuh Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto, Rabu (15/1).

Dia berharap kurs rupiah bisa segera pulih agar risiko kenaikan harga jual mobil di Indonesia bisa diminimalisir.

Industri pertambangan turut mewaspadai efek pelemahan kurs rupiah yang sudah semakin parah. Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, pelemahan rupiah akan berdampak langsung pada biaya operasional perusahaan tambang.

"Sebagian besar biaya operasional terutama untuk komponen impor seperti produk alat berat dihitung dalam mata uang asing, terutama dollar AS," kata dia, Rabu (15/1).

Kendati begitu, IMA memastikan para pelaku usaha tambang tetap berupaya maksimal untuk menjaga rencana produksi yang sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah disetujui pemerintah.

Tak ketinggalan, industri alat kesehatan juga terpapar oleh tren koreksi rupiah. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Imam Subagyo mengatakan, produk dengan komponen berbahan stainless steel atau bahan lainnya masih bergantung pada impor. Contohnya, hospital furniture dan beberapa produk medis lainnya belum sepenuhnya diproduksi di dalam negeri. Akibatnya, pelanggan yang membutuhkan alat kesehatan tersebut harus merogoh kocek lebih dalam ketika kurs rupiah sedang melemah.

Sisi positifnya, beberapa pelaku usaha alat kesehatan yang berorientasi ekspor bisa mendapat keuntungan pada saat rupiah bergejolak. "Sekitar setengah dari anggota Aspaki berfokus pada pasar ekspor," ucap dia, Rabu (15/1).

Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menuturkan, pelemahan rupiah akan berdampak pada properti yang bersifat high end seperti hotel, apartemen, dan mall. Bangunan properti ini membutuhkan material finishing yang sebagian besar masih diimpor, seperti produk sanitari, marmer granite, lampu, hingga kunci. Beruntung, kontribusi material impor ini hanya sebanyak 20% sampai 30% saja, sedangkan sisanya masih bisa dipasok dari dalam negeri.

Walau begitu, jika kurs rupiah mencapai Rp 17.000 per dollar AS, maka hal tersebut akan mempengaruhi biaya konstruksi yang berujung pada kenaikan harga properti.r

"Kami berharap pemerintah dapat meramu kebijakan yang mumpuni untuk mengatasi kenaikan dollar AS terhadap rupiah," pungkas Bambang, Rabu (15/1).

Baca Juga: BNI Finance Berharap Program 3 Juta Rumah Dapat Mendongkrak Penjualan Alat Berat

Selanjutnya: Kabinet Trump Diperkirakan Paling Cepat Susun Perubahan Regulasi Kripto Pekan Depan

Menarik Dibaca: Lavalen Medica dan Prof. Xanya Sofra Hadirkan Teknologi Infinity Gym

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati