Pelemahan rupiah, BI : Jangan lihat dari nilai, tapi pergerakannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI), Doddy Zulverdi menyebut bahwa pelemahan rupiah yang sempat terjadi di Indonesia jangan dilihat dari nilai angkanya.

Namun, dilihat dari seberapa cepat pergerakan perubahan angkanya. Menurut Doddy hal ini karena nilai mata uang memiliki relative price atau harga relative yang berbeda dari tahun ke tahun.

“Nilai tukar selalu kecenderungannya adalah level-level ketika kita menghadapi masalah besar yakni krisis. Pemahaman yang perlu kita tanamkan, karena perubahan itu tidak bisa dilihat secara angka psikologis, tapi seberapa cepat ia bergerak,” kata Doddy, Senin (10/9),


Ia mencontohkan bahwa nilai mata uang akan bergerak terus dari tahun ke tahun, dimana nilai mata uang saat ini berbeda dengan 20 tahun lalu ataupun 50 tahun kedepan.

“Nilai tukar adalah salah satu contoh indikator ekonomi yang tidak bisa dilihat dari suatu angka tertentu, angka Rp 15.000 sekarang dengan angka Rp 15.000 pada 20 tahun lalu beda nilainya, misalkan di 50 tahun lagi katakanlah rupiah kita lebih lemah lagi,” ujarnya.

Menurutnya di Negara lain, masalah nilai tukar tidak pernah menjadi berita besar jika saja pergerakannya masih soft. Namun jika perubahan angka terlalu cepat dan cenderung berkali-kali lipat dari biasanya, inilah yang akan menjadi masalah.

“Di Amerika, Australia, Korea nilai tukar itu bergerak tidak pernah menjadi berita besar kecuali pergeraakan cepat. Itu seberapa cepat dia (mata uang) bergerak. Bagi pelaku usaha itu seberapa cepat nilai tukar itu bergerak, kalau Rp 17.500 bergerak kangka Rp15.000 pada dua hingga tujuh bulan, tentu sangat berbeda jika itu terjadi di 1997 dan 1998 yang perubahannya berkali lipat,” jelasnya.

Menurutnya masalah kondisi atau situasi ketidak pastian global yang terjadi saat ini menyebabkan konsisi ekonomi timpang. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena sejauh ini pelemahan rupiah atau penguatan rupiah (dalam beberapa hari) masih berada di range aman.

“Faktor-faktor kenapa kita sampai pada situasi sekarang ini, situasi ini tidak telepas dari ekonomi global yakni ekonomi dunia pertumbuhannya berat sebelah,” ungkapnya.

Ketimpangan ekonomi ini dialibatkan dari berbagai kebijakan yang terjadi diluar negeri seperti kebijakan kenakan suku Bungan amerika serikat kepada beberapa Negara serta gejolak ekonomi Argentina dan Turki yang berdampak pada Indonesia.

“Ketimpangan ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tumbuh kuat sedangkan Eropa, Jepang dan China melemah. Selanjutnya kenaikan sukau bunga Fed Fund Rate, masalah perdagangan antara AS dan sejumlah negara, serta resiko dari gejolak ekonomi Turki dan Argentina,” kata Doddy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .