Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Belanja Menjadi Biang Kerok Defisit APBN 2024



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 mencapai 2,70% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau secara nominal Rp 609,7 triliun. Proyeksi defisit APBN 2024 ini lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yakni sebesar 2,29% dari PDB atau secara nominal Rp 522,8 triliun.

Sri Mulyani menyebut, pendapatan negara dalam APBN 2024 diperkirakan akan mencapai Rp 2.802,5 triliun atau tumbuh 0,7% secara tahunan. Utamanya dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi yang terjaga dan positif, implementasi reformasi perpajakan, peningkatan dividen BUMN dan peningkatan layanan kementerian/lembaga (K/L).

Sementara itu, outlook belanja negara dalam APBN 2024 diperkirakan mencapai Rp 3.412,2 triliun atau 102,6% dari pagu APBN 2024 atau tumbuh 9,3%.


"Dengan outlook pendapatan dan belanja negara tersebut kami memproyeksikan APBN 2024 akan ditutup defisit dari keseimbangan primer mencapai Rp 110,8 triliun dan defisit total mencapai Rp 609,7 triliun. Ini artinya terjadi kenaikan defisit defisit 2,29% ke 2,7% dari PDB," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Senin (8/7).

Menkeu mengatakan, pelebaran defisit ini terjadi karena APBN menjadi shock absorber untuk menjaga momentum pertumbuhan, melindungi daya beli, dan mendukung pencapaian target-target prioritas pembangunan nasional.

Kemenkeu mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mencatat defisit sebesar Rp 77,3 triliun pada Semester I-2024 atau 0,34% terhadap PDB.

Baca Juga: Pelebaran Defisit APBN 2024 Jadi Alarm Untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pelemahan kurs rupiah dan kenaikan subsidi 

Nilai tukar rupiah yang melemah menjadi salah satu pemberat APBN tahun ini. Sri Mulyani menyebut, nilai tukar rupiah diproyeksikan pada kisaran Rp 15.900 per dolar Amerika Serikat (AS) hingga Rp 16.100 per dolar AS pada akhir tahun 2024. Proyeksi ini jauh melemah di atas asumsi ekonomi makro dalam APBN 2024 yang ditargetkan Rp 15.000 per dolar AS.

Realisasi pada semester I 2024 rupiah bergerak melemah Rp 15.901 per dolar AS di atas dari asumsi makro yakni Rp 15.000 per dolar AS. Pada semester II 2024, nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 16.000 per dolar AS hingga Rp 16.200 per dolar AS dan pada akhir tahun diperkirakan mencapai Rp 15.900 hingga Rp 16.100 per dolar AS.

Dalam bahan paparan Sri Mulyani, pergerakan nilai tukar rupiah yang jauh dari asumsi ekonomi makro dalam APBN 2024 ini sejalan dengan adanya volatilitas kebijakan suku bunga The Fed ke depan.

Sekadar informasi, pada Juni lalu, kurs rupiah menyentuh level paling lemah sejak Maret 2020 mendekati Rp 16.500 per dolar AS. 

Staf Bidang Ekonomi, Industri dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto melihat bahwa APBN 2024 memang mulai menunjukkan defisit sejak Mei 2024. Kondisi ini terjadi karena belanja pemerintah yang terlalu agresif, terutama untuk berbagai program terkait ASN, bantuan masyarakat bawah serta kebutuhan belanja infrastruktur.

Sementara untuk belanja subsidi energi pada tahun ini juga perlu diwaspadai lantaran adanya pergerakan harga minyak yang relatif tinggi serta posisi dolar AS yang relatif menguat secara global.

"Kita melihat biaya impor untuk minyak dan biaya untuk subsidi impor minyak ini kelihatannya melebihi budget," imbuh Myrdal.

Baca Juga: Ekonom Proyeksi BI Rate Bisa Turun di Kuartal IV 2024, Ini Syaratnya

Prediksi Bank Indonesia

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo optimistis nilai tukar rupiah akan bergerak stabil dan menguat pada akhir tahun 2024 ini. Perry mengatakan, nilai tukar rupiah diperkirakan menguat sekitar Rp 15.700 per dolar AS hingga Rp 16.100 per dolar AS.

Perry menyampaikan, terdapat empat faktor yang  mempengaruhi penguatan nilai tukar rupiah. Pertama, arah penurunan suku bunga The Fed atau Federal Funds Rate (FFR).

Kedua, imbal hasil daya tarik investasi portofolio, bahwa pada tahun ini investasi portofolio ke dalam negeri ini terjadi inflow, meskipun beberapa bulan di waktu terjadi Lebaran terjadi outflow,” tutur Perry saat melakukan rapat kerja bersama Banggar DPR RI, Senin (8/7).

Ketiga, sisi fundamental inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Keempat, adalah upaya BI untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun ini akan sesuai target yakni 2,5% plus minus 1%, sementara pertumbuhan ekonomi tahun ini optimistis mencapai 5,1%.

David Sumual, Ekonom Bank Central Asia memperkirakan bahwa kurs rupiah memang berpotensi menguat. Tetapi penguatan rupiah hanya akan tipis-tipis saja dengan kisaran pergerakan Rp 16.000 per dolar AS hingga Rp 16.500 per dolar AS..

"Fundamental rupiah saat ini berada di Rp 16.000," kata David kepada Kontan.co.id, Jumat (5/7). 

Baca Juga: Dolar AS Tetap Prospektif di Tengah Maraknya Dedolarisasi

Kenaikan pajak membebani konsumen 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa defisit yang hampir menyentuh ambang batas aman menandakan bahwa alat fiskal negara berada dalam tekanan yang berat.

Kondisi APBN yang berat tersebut tercermin dari penerimaan pajak yang tidak setinggi tahun lalu karena fenomena windfall harga komoditas yang tak terulang. Belum lagi, penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan juga menurun.

Bhima menyebut, pemerintah memang sudah menggenjot penerimaan pajak dengan cara melakukan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Namun, kebijakan tersebut nyatanya turut membebani masyarakat sebagai konsumen.

"Itu menjadi beban berat bagi konsumen, khususnya kelas menengah, juga tekanan ekonomi dari sisi inflasi bahan makanan juga menghantui, indikator kendaraan bermotor penjualannya juga turun," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (8/7).

Dengan kondisi APBN 2024 yang melebar, Bhima bilang, hal tersebut bisa menjadi pelajaran untuk pemerintahan selanjutnya agar tetap menjaga defisit APBN 2024 di bawah 2,7% PDB.

"Jangan sampai pelebaran defisit APBN ini menjadi pembenaran untuk melakukan kenaikan harga-harga yang diatur oleh pemerintah sehingga bisa menciptakan inflasi umum ataupun inflasi administrasi yang lebih tinggi ke depannya," kata Bhima.

Baca Juga: Penerimaan Perpajakan Mencapai Rp 1.028 Triliun pada Semester I-2024

Proyeksi defisit APBN yang melebar ini juga diartikan sebagai alarm bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk lebih berhati-hati dalam mengelola APBN. Pasalnya, warisan APBN ini tidak banyak memiliki keistimewaan untuk melakukan ekspansi belanja.

"Ini harus sangat hati-hati pak Prabowo ke depan warning bahwa APBN tidak dalam kondisi yang luxury sehingga harus dilakukan rasionalisasi program-program yang akan dijalankan," imbuh Bhima.

Bahkan dirinya menyarankan anggaran Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang sebesar Rp 71 triliun bisa diturunkan lagi. Begitu juga anggaran IKN yang harus dilakukan rasionalisasi anggaran sehingga kredibilitas fiskal tetap terjaga.

"Karena proyeksi defisit melebar sangat jauh dari asumsi awal, kalau 2,7% dengan batas maksimal 3%. Artinya ini APBN dalam kondisi yang bisa dikatakan cukup berat. Ini belum termasuk program Prabowo yang baru ke depan," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati