Pelemahan rupiah diramal berlanjut



Jakarta. Pelemahan nilai tukar rupiah di akhir pekan diprediksi analis masih bisa berlanjut di awal pekan ini. Sebab minimnya katalis dalam negeri yang bisa jadi daya tahan bagi rupiah.

Di pasar spot, Jumat (20/5) valuasi rupiah merosot 0,32% ke level Rp 13.608 per dollar AS dibanding hari sebelumnya. Sejalan di kurs tengah Bank Indonesia posisi kurs rupiah tergerus 0,79% ke level Rp 13.573 per dollar AS.

Sri Wahyudi, Research and Analyst PT Garuda Berjangka mengatakan pelemahan akhir pekan lalu memang didominasi oleh faktor The Fed. Pandangan pelaku pasar yang optimistis akan peluang kenaikan suku bunga di Juni atau Juli 2016 mendatang jadi faktor utamanya.


“Ditambah lagi data penjualan rumah di AS juga catatkan kenaikan yang memuaskan pasar,” kata Wahyudi. Memang penjualan rumah di AS naik dari 5,36 juta menjadi 5,45 juta. Tentunya ini semakin mendukung pandangan pelaku pasar akan prospek positif ekonomi AS ke depannya.

Hanya saja memang tekanan bagi rupiah akan sedikit mereda. Mengingat Senin (23/5) nyaris tidak ada data ekonomi yang mendukung USD. “Seharusnya ini bisa dimanfaatkan rupiah untuk menyesuaikan posisi sehingga pelemahan tidak terlampau dalam,” analisa Wahyudi.

Karena memang faktor utama penggerak kurs rupiah hingga akhir bulan nanti datang dari pengaruh eksternal. Akibat minimnya sajian data ekonomi domestik.

Reny Eka Putri, Analis Pasar Uang PT Bank Mandiri Tbk sependapat, dari domestik belum ada katalis positif yang kuat untuk menopang mata uang Garuda. Data ekonomi domestik sudah sangat minim karena memasuki akhir bulan.

“Yang ada justru permintaan USD dalam negeri yang meningkat untuk pembayaran utang korporasi dan pemerintah seperti kegiatan rutin di penghujung bulan,” jelas Reny. Faktor ini pun turut memberikan tekanan bagi rupiah Senin (23/5).

Hanya saja perlu memandang pada sajian data ekonomi Jepang. Kalau benar diprediksi data neraca perdagangan April 2016, Flash manufaktur PMI dan aktivitas industrinya meningkat seperti prediksi, ini akan beri angin segar pada mata uang regional Asia.

“Beberapa waktu terakhir tekanan pelemahan pada mata uang regional Asia memang besar, jadi kalau ada katalis positif dari Asia seharusnya bisa bantu pergerakan,” papar Reny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto