Pelemahan rupiah membebani perusahaan konstruksi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi rupiah masih masih tersudut di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini tentu semakin menekan sektor bisnis yang memiliki eksposur barang impor cukup tinggi.

Mengutip Bloomberg Dollar Index, Kamis (5/7), nilai tukar rupiah pada perdagangan spot exchange melemah 31 poin atau 0,22% ke posisi Rp 14.394 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia kemarin juga memperlihatkan, rupiah menyusut 0,31% menjadi Rp 14.383 per dollar AS.

Bisnis konstruksi menjadi salah satu sektor yang banyak menerima dampak negatif dari pelemahan mata uang Garuda. Maklumlah, sektor ini masih sangat bergantung pada pasokan material impor untuk menggarap kontrak-kontrak proyek pembangunan gedung, properti maupun infrastruktur lainnya.


Mahmilan Sugiyo, Sekretaris Perusahaan PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL) mengatakan, pelemahan rupiah secara signifikan akan membuat persaingan bisnis konstruksi lebih berat. "Harga bahan bangunan, terutama bahan bangunan dari impor akan melonjak. Pelemahan rupiah tersebut akan berdampak terhadap biaya pembangunan," ungkap dia kepada Kontan.co.id, kemarin.

Untuk menyiasati pelemahan rupiah, TOTL akan melakukan strategi, yakni renegoasiasi kontrak dengan pemilik proyek apabila dampak ke pembengkakan biaya pembangunan cukup tinggi. Cara ini ditempuh untuk menekan kerugian terhadap pekerjaan proyek yang sedang berjalan.

"Sementara terhadap kontrak-kontrak yang sedang dibidik dan belum diperoleh, kami akan menyesuaikan harga sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah," papar Mahmilan.

Saat ini, TOTL masih memiliki kontrak baru di dalam pipeline yang cukup besar. Nilai tender kontrak yang sedang diikuti mencapai Rp 6,31 triliun. Perinciannya, proyek apartemen senilai Rp 1,64 triliun, perkantoran Rp 1,55 triliun, hotel sebesar Rp 1,18 triliun, dan proyek mixed use senilai Rp 1,95 triliun.

Mahmilan berharap, kepada otoritas terkait, termasuk BI, agar bijak memanfaatkan instrumen-instrumen yang dimiliki untuk mengendalikan nilai tukar, sehingga pelemahan rupiah tidak semakin dalam.

Sedangkan PT Acset Indonesia Tbk (ACST) belum merasakan efek pelemahan rupiah terhadap bisnisnya. Sebab, perusahaan ini sudah mengantisipasi ancaman gejolak nilai tukar sejak mendapatkan kontrak proyek. "Untuk saat ini belum ada pengaruh bagi kami karena kontrak kami semua dalam rupiah. Sementara harga materialnya juga  sudah dikunci sejak kami mendapatkan proyek," ujar Maria Cesilia Hapsari, Sekretaris Perusahaan ACST.

Sementara untuk proyek baru yang yang diincar, Maria menilai, tidak akan terganggu pelemahan rupiah. Sebab, semua kontrak baru yang mereka bidik memang menggunakan nominal rupiah.

Oleh karena itu, manajemen ACST tidak akan mengubah rencana bisnis perusahaan tahun ini mennyusul tekanan kurs tersebut. Acset Indonesia tetap optimistis bisa mencapai target kontrak baru senilai Rp 10 triliun hingga pengujung tahun 2018.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati