JAKARTA. Ruang pertemuan di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pertengahan Juni 2013, terasa gerah. Ini memang pertemuan tingkat dunia. Namun, fasilitasnya sangat jauh dari kemewahan karena yang berkumpul kebanyakan petani kecil. Beberapa kipas angin tidak mampu mengusir gerah.Mereka berkumpul dalam Konferensi Gerakan Petani Sedunia atau ”La Via Campesina”. Muka-muka berpeluh yang mengernyitkan dahi merefleksikan masalah teramat pelik: pangan dan kemungkinan krisis kebutuhan pokok itu ke depan.Betapa tidak, jumlah penduduk dunia sudah lebih dari 7 miliar orang. Jumlah tersebut diperkirakan menjadi dua kali lipat pada tahun 2050. Itu tantangan yang teramat berat karena para petani juga harus menggandakan produksi pangan. Saat ini saja, krisis pangan sudah mulai terasa.Setiap malam, satu dari enam penduduk dunia tertidur merintih dengan perut kosong. Sementara itu, tanah para petani dibeli korporasi. Mereka tergusur dari daerahnya untuk menjadi buruh pabrik.Sebelum tahun 2008, pangan bisa diperoleh dengan mudah dan murah. Namun, setelah itu dunia mulai terenyak. Harga pangan melonjak drastis dan konsumen harus membayar jauh lebih tinggi untuk pangan. Profesi petani pun tidak dilirik generasi muda di pedesaan. Mereka lebih memilih pergi berduyun-duyun ke kota untuk mencari pekerjaan lain.Lantas, bagaimana bisa dunia menggandakan produksi pangannya jika jumlah petani terus berkurang? Inilah kegentingan masalah pangan yang belum sepenuhnya disadari penduduk dunia. Orang tidak akan paham sebelum dirinya sendiri merasakan kelaparan. Jika tak diatasi sejak dini, krisis pangan akan menjadi bencana global.Asa sebenarnya terletak pada petani kecil. Kerap dipandang sebelah mata, petani kecil terimpit mesin-mesin industri besar. Padahal, mereka inilah yang harus dilibatkan dalam solusi krisis pangan dunia.Di dunia saat ini terdapat 500 juta pertanian kecil, dan para pelakunya mampu menopang pangan untuk 2,5 miliar penduduk dunia. Keterlibatan petani kecil sebagai bagian dari pemecahan masalah pangan sebenarnya juga diterapkan untuk mencegah mereka terperosok dalam jurang kelaparan.Ironi petani yang kelaparan pada kenyataannya memang merupakan satire pahit. Di Indonesia, contohnya, sebanyak 60% penerima beras bagi rakyat miskin adalah petani. Jika mereka tidak diberdayakan, krisis pangan akan semakin besar, dan para petani kecil kian menjerit. Langkah lain yang harus dilakukan adalah distribusi pangan harus dibenahi sehingga suplai pangan berkualitas menyentuh masyarakat hingga pedesaan. Karena itu, sungguh bijak bila masyarakat dunia saat ini mencamkan pernyataan Country Programme Manager Asia and the Pacific Division Programme Management Department, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) Ron Hartman. ”Semua orang harus sadar betapa mencemaskannya krisis pangan yang bisa terjadi jika kita tidak mengatasinya sejak dini,” kata Ron dengan muka serius. (Dwi Bayu Radius/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Peliknya krisis pangan
JAKARTA. Ruang pertemuan di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pertengahan Juni 2013, terasa gerah. Ini memang pertemuan tingkat dunia. Namun, fasilitasnya sangat jauh dari kemewahan karena yang berkumpul kebanyakan petani kecil. Beberapa kipas angin tidak mampu mengusir gerah.Mereka berkumpul dalam Konferensi Gerakan Petani Sedunia atau ”La Via Campesina”. Muka-muka berpeluh yang mengernyitkan dahi merefleksikan masalah teramat pelik: pangan dan kemungkinan krisis kebutuhan pokok itu ke depan.Betapa tidak, jumlah penduduk dunia sudah lebih dari 7 miliar orang. Jumlah tersebut diperkirakan menjadi dua kali lipat pada tahun 2050. Itu tantangan yang teramat berat karena para petani juga harus menggandakan produksi pangan. Saat ini saja, krisis pangan sudah mulai terasa.Setiap malam, satu dari enam penduduk dunia tertidur merintih dengan perut kosong. Sementara itu, tanah para petani dibeli korporasi. Mereka tergusur dari daerahnya untuk menjadi buruh pabrik.Sebelum tahun 2008, pangan bisa diperoleh dengan mudah dan murah. Namun, setelah itu dunia mulai terenyak. Harga pangan melonjak drastis dan konsumen harus membayar jauh lebih tinggi untuk pangan. Profesi petani pun tidak dilirik generasi muda di pedesaan. Mereka lebih memilih pergi berduyun-duyun ke kota untuk mencari pekerjaan lain.Lantas, bagaimana bisa dunia menggandakan produksi pangannya jika jumlah petani terus berkurang? Inilah kegentingan masalah pangan yang belum sepenuhnya disadari penduduk dunia. Orang tidak akan paham sebelum dirinya sendiri merasakan kelaparan. Jika tak diatasi sejak dini, krisis pangan akan menjadi bencana global.Asa sebenarnya terletak pada petani kecil. Kerap dipandang sebelah mata, petani kecil terimpit mesin-mesin industri besar. Padahal, mereka inilah yang harus dilibatkan dalam solusi krisis pangan dunia.Di dunia saat ini terdapat 500 juta pertanian kecil, dan para pelakunya mampu menopang pangan untuk 2,5 miliar penduduk dunia. Keterlibatan petani kecil sebagai bagian dari pemecahan masalah pangan sebenarnya juga diterapkan untuk mencegah mereka terperosok dalam jurang kelaparan.Ironi petani yang kelaparan pada kenyataannya memang merupakan satire pahit. Di Indonesia, contohnya, sebanyak 60% penerima beras bagi rakyat miskin adalah petani. Jika mereka tidak diberdayakan, krisis pangan akan semakin besar, dan para petani kecil kian menjerit. Langkah lain yang harus dilakukan adalah distribusi pangan harus dibenahi sehingga suplai pangan berkualitas menyentuh masyarakat hingga pedesaan. Karena itu, sungguh bijak bila masyarakat dunia saat ini mencamkan pernyataan Country Programme Manager Asia and the Pacific Division Programme Management Department, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) Ron Hartman. ”Semua orang harus sadar betapa mencemaskannya krisis pangan yang bisa terjadi jika kita tidak mengatasinya sejak dini,” kata Ron dengan muka serius. (Dwi Bayu Radius/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News