Pelonggaran ekspor nikel, INCO terjerembab



JAKARTA. Sentimen pelonggaran ekspor bijih nikel membuat saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT ANTAM (Persero) Tbk (ANTM) bergerak berbeda arah. INCO terus tergerus, ANTM bertahan pada zona hijau.

Penurunan saham INCO malah terus berlanjut hingga perdagangan Rabu (18/1), dengan penurunan 20 poin ke level Rp 2.470 per saham. Ini merupakan level terendah sejak awal tahun 2017.

"Harga nikel anjlok hingga di bawah US$ 10.000 per ton pasca pengumuman kelonggaran tersebut," ujar analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan.


Kinerja INCO berpotensi terganggu karena rendahnya harga nikel. Sebaliknya, sentimen ini justru postif bagi saham ANTM karena adanya ekspektasi ekspor nikel ANTM yang lebih besar. Tapi, sejatinya isu tersebut tidak perlu ditanggapi berlebihan. Pasalnya, harga nikel dunia akan kembali rebound.

"Karena tidak mungkin ANTM akan mengekspor semua bijih nikelnya sekaligus," kata Andy. 

Di sisi lain, potensi rebound harga nikel juga dari sentimen ditutupnya sejumlah perusahaan nikel di Filipina. Pemerintah Filipina telah melakukan suspensi atas perusahaan nikel di sana. Suspensi telah dilakukan kepada Zambaland Diversified, Benquet Corp. Nickel, dan lima perusahaan nikel lainnya.

Sementara, Claver Mineral, Emir Mineral, MT. Sinai, dan lima belas perusahaan nikel lainnya masuk ke dalam daftar rekomendasi suspensi. Jika ditotal, jumlah ini setara dengan separuh perusahaan nikel yang ada di Filipina. Sehingga, hal ini akan menganggu suplai nikel dunia. Suplai terganggu, otomatis harga terkerek

Pada saat yang bersamaan, fasilitas produksi INCO membaik sejak semester II-2016 seiring dengan kelarnya masa perawatan. Sehingga, produksi INCO diprediksi akan kembali maksimal. "Harga nikel hingga akhir tahun ini akan berada di atas US$ 10.000 per ton, dan ini bagus untuk INCO," jelas Andy.

Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menambahkan, pelonggaran larangan ekspor nikel itu bagus. Tapi memang hal ini diiringi oleh kekhawatiran turunnya harga karena bertambahnya suplai. Dalam kondisi ini, kebijakan tersebut menjadi sentimen negatif. Sentimennya masih variatif dan cenderung negatif. "Jadi, sebaiknya ambil posisi wait and see dulu bagi para investor," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini